Prolog

14.6K 881 49
                                    

Hari ini langit sedang meneteskan sendu. Rintik hujan menjadi penyampai rasa yang terbias semu. Suara ombak bergema, bersama bisik angin mereka menyatu. Lengang pesisir pantai menjadi pelengkap bagi rindu yang tak kunjung menjadi temu.

Lelaki itu termangu. Ia menatap deburan ombak di depan sana—pada kumpulan air yang beriak lalu kembali menyatu.

Bagi lelaki itu, semua terasa hampa. Rindunya masih tidak menemui titik jumpa. Sampai sekarang, samudra di hadapannya masih samudra yang sama, samudra yang membuat bahagia, juga....yang merenggut segalanya.

Ia menarik senyum penuh kepalsuan—berusaha menutupi luka dengan kebohongan—lalu menatap sebuah botol dan surat yang tergulung dalam genggaman. Lagi, untuk yang kesekian kali, ia membuka gulungan kertas itu untuk dibaca kembali. Meyakinkan dirinya bahwa benda itu akan menjadi sarana penyampai rindu. Rindu yang masih bertahan, terkurung oleh waktu.

Berselimut keheningan, kembali ia resapi kalimat itu dalam-dalam.

'Samudra, Langitmu di sini. Masih menunggu bersama ombak, pasir, dan malam yang sepi. Ini surat kelima yang kukirim padamu. Kutunggu balasanmu, dalam lelap berpeluk mimpi.

Selamat tinggal, untuk yang kelima kali.'

Lelaki itu menggigit bibir dalamnya, menyalurkan sesak yang lagi-lagi menghantam dada. Lima tahun sudah rindunya tak mendapat balasan. Dan entah mengapa, ia masih menaruh harapan, pada kenyataan palsu yang nyatanya lebih lucu dari candaan.

Ia memejam, berusaha menghalau air mata yang hendak keluar. Sesak itu masih terasa, tak pernah ada obatnya. Namun, ia berusaha untuk menahan itu semua. Setidaknya, hingga ia berhasil menyampaikan rindunya yang kelima.

Buru-buru ia kembali menggulung surat itu. Surat yang selalu ia tulis sejak lima tahun lalu. Ia memasukkan surat itu ke dalam botol, kemudian memasang tutupnya erat-erat, berharap tak ada apapun yang bisa membuat surat itu rusak.

Ia menatap botol itu lekat-lekat, sebelum melemparnya ke samudra di depan sana. Surat itu mengambang, lalu menghilang terbawa air dan angin yang menerpa. Sampai saat ini, ia masih memiliki harapan yang sama, bahwa surat itu, akan membawa rindunya berjumpa dengan seseorang di sana.

"Samudra, Langitmu masih di sini. Jadi, kapan kamu akan kembali?"

Lirih dan pilu menjadi satu. Getar suara lelaki itu mengalun bersama angin yang mendayu.

"Aku lupa, kamu...tidak akan pernah kembali, kan?"

Air matanya jatuh, menyatu bersama air hujan yang meluruh. Lelaki itu mengadahkan kepala, merasakan hujaman air pada wajahnya. Kemudian ia beranjak, memutuskan untuk pergi. Kembali pada rindu lainnya yang masih harus ia temui.

 Kembali pada rindu lainnya yang masih harus ia temui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih karena sudah;

*Tambahkan ke perpustakaan*

:)

Revisi
Jakarta, 28 Juli 2020

Untuk Samudra[√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang