Chapter 3

2K 319 42
                                    

Turun sudah harga diri Victor, dihina-hina oleh Rian dan Sarah karena lelaki itu baru saja mengalami tragedi putus cinta. Untuk orang lain, tentu diputusi oleh seorang perempuan adalah hal yang biasa, tapi tidak bagi Victor. Dia selalu memastikan bahwa Victorlah yang akan mengakhiri hubungan, tapi kali ini hubungannya dengan Sherin malah diakhiri lebih dulu oleh gadis itu di depan banyak orang pula!

"Makan tuh harga diri!" ejek Sarah dan diangguki oleh Rian, sementara Victor pura-pura tidak dengar. Jujur saja dia lelah dan muak terus ditertawai dua teman durhakanya selama beberapa hari ini, terlebih karena dia baru saja ditolak seseorang karena ulah mantan pacarnya.

"Bahaya juga, ya kalau cewek udah sakit hati. Bisa nelangsa hidup lo."

"Oh, jelas!" Sarah menanggapi perkataan Rian, lelaki bermata sipit yang duduk di samping Sarah, sedangkan Victor duduk di hadapan kedua temannya.

"Nyesel gue pernah pacaran sama dia," keluh Victor.

Waktu masih jadi siswa baru, Sherin itu adik kelas yang cantik dan menggemaskan karena terlihat polos dan didukung penampilan lucu lantaran berpipi tembam dan berponi selamat datang. Dia juga gadis yang tak pantang menyerah untuk mendekati Victor sekalipun Victor bersikap jual mahal karena pada saat itu Victor sedang punya pacar di sekolah lain. Saat Victor putus, keesokan harinya Sherin menyatakan perasaan dan Victor pikir tidak ada salahnya menerima pernyataan cinta gadis itu. Namun, sekarang dia benar-benar menyesal karena memutuskan untuk pacaran dengan Sherin.

"Wajar sih, Vic," Sarah bersuara lagi, "kalau gue di posisi Sherin, gue juga bakal berusaha bikin lo menderita sebisa gue. Soalnya, kata-kata lo waktu itu tuh nyebelin banget. Harusnya lo gak usah terlalu jujur."

Victor berdecak dan mengabaikans ocehan Sarah. Matanya mengedar mencari bangku lain di kantin dan beruntung Victor menemukannya.

Lelaki itu langsung berdiri dan mengangkat piring berisi batagornya sembari berkata, "Gue pindah, bye!" kepada Sarah dan Rian.

Victor pindah ke samping Nana yang lagi-lagi merupakan adik kelasnya. "Hai," sapa lelaki itu sambil memasang senyum pepsodent. Nana menoleh dan hanya tersenyum tipis sebelum kembali fokus menghabiskan menu makan siangnya.

"Gue boleh duduk di sini, kan?"

Nana mengangguk sebagai jawaban. Victor tersenyum senang karena respon Nana tidak seperti orang lain yang terlihat takut pada amukan Sherin walau gadis itu kini telah putus hubungan dengan Victor. Kalau begini, mungkin tidak akan sulit juga bagi Victor untuk melakukan pendekatan dengan Nana dan menjadikan gadis imut itu sebagai pacarnya.

Victor mulai menyantap batagor saat seseorang meletakkan sebuah mangkok di hadapannya. Victor dan Nana mendongak, mendapati Sherin yang tersenyum simpul ke arah mereka.

"Halo Nana," sapa Sherin ramah, "kakak duduk di sini, ya." Nana mengangguk lagi, sedangkan Victor sudah berekspresi keruh.

"Lo ngapain, sih duduk di sini? Bangku lain masih banyak," protes Victor tak suka.

"Loh, gue cuma mau duduk deket sepupu gue. Emang gak boleh?"

Mendengar jawaban Sherin, Nana mengangkat kepala dan menatap wajah Sherin lamat-lamat, sementara yang ditatap hanya berusaha tersenyum manis. "Na, kita kan sepupu, nih," kata Sherin perlahan dan terdengar hati-hati, "berarti saudara, kan? Gue harap sih, gak ada istilah saudara makan saudara di antara kita, cukup adanya temen makan temen aja."

"Maksud lo apa, sih?" sahut Victor jengkel, nada bicaranya meninggi karena merasa Sherin telah sengaja menyinggungnya. Omong-omong, Victor baru tahu kalau gadis imut seperti Nana punya sepupu bak macan seperti Sherin.

"Apa, sih? Ini tuh pembicaraan sesama cewek. Emangnya situ cewek pake ikut-ikuan?" Sherin balik nyolot.

"Kak, maksudnya apaan, ya?" suara lembut Nana yang menyejukkan membuat Victor mengurungkan kalimat balasan untuk Sherin.

"Jadi gini, loh," gaya Sherin sudah persis ala ibu-ibu yang hendak memulai gosip, "karena kita saudara, jangan sampe kita pacaran sama mantan pacar saudara sendiri. Misal, ada cowok brengsek berstatus mantan gue, sok-sokan numpang duduk di samping lo biar bisa modus PDKT, jangan diladenin, nanti ujung-ujung nembak. Kalau sampe lo terima, berarti lo baru aja makan saudara sendiri."

"Oh, gak usah khawatir, Kak. Gue gak bakal terima siap apun lagi jadi cowok gue. Kan gue udah punya Johan, Kak," sahut Nana dengan segala ketidakpekaanya. Dia benar-benar tidak sadar kalau Sherin baru saja menyinggung makhluk yang duduk di sampingnya.

Victor mengepalkan tangan dan menggebrak meja. Kali ini lelaki itu pergi tanpa membawa piring batagornya. Nafsu makan lelaki itu masih ada, hanya saja Victor merasa tidak elit jika pergi dalam keadaan marah tapi masih sempat membawa-bawa piring berisi batagor yang tinggal setengah porsi lagi itu.

Sepeninggal Victor, Sherin tertawa terbahak, puas telah membuat lelaki itu kesal dan bertingkah seperti gadis PMS. "Rasain lo!"

"Kak," panggil Nana. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan, "sebelumnya maaf, kita sepupuan kok gue gak pernah tahu?"

"Hah?" pikiran Sherin blank selama dua detik sebelum tawanya kembali pecah. "Aduh, maaf, ya, kita emang gak sepupuan. Gue aja gak tahu tampang bapak lo kayak gimana."

"Jadi, kita bukan sepupu, Kak?"

"Bukan!" tegas Sherin.

"Terus, kenapa tadi lo bilang kita sepupuan?"

"Biar Victor gak deketin lo."

"Jadi lo bohong, Kak?"

"Iya Nana," mata Sherin melotot menatap lawan bicaranya, "sekali lagi lo nanya gak penting, gue sumpel mulut lo pake kaos kaki!"

"M-maaf, Kak," nyali Nana langsung ciut melihat ekspresi garang si kakak kelas.

***

Dipublikasi 23 Mei 2019

Revisi 5 januari 2021

Escape With My XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang