bagian 3

25 4 0
                                    

"Aku takut."

"Koki, aku takut."

.

.

.

Sudah ada jarak tiga hari sejak pesan itu sampai. Koki tidak mengerti apa alasannya; semakin ia sengaja membaca lagi, berulang-ulang kali untuk memahami maknanya; tidak ada satu pun arti yang ia tangkap, ketakutan macam apa yang Wataru rasakan—mungkinkah lelaki itu takut padanya?

Apakah ... apa sekarang ia kelihatan semenakutkan itu?

Apa—ah, terlalu banyak kalimat tanya yang tercipta di dalam kepala, berputar-putar mengelilingi akal sehatnya hingga acap kali menyisakan rasa sakit berdenyut-denyut di ubun-ubun. Kendati, bahkan, soal-soal rumit saat tes sekolah sebelum liburan musim panas saja tidak pernah membuatnya sebegini pusing.

Bahkan hari ini: hari pertama latihan rutin setelah terakhir kali mereka bertemu di tempat pemotretan majalah.

Koki tetap menemukan Wataru tidak menyinggung sudut bibir agar tersenyum, setipis apa pun, padanya—jangankan melayangkan sapaan dari jauh dengan lambaian tangan kanan sebatas telinga ketika datang. Koki tahu ia tidak akan semudah itu lagi mendapatkannya.

Apalagi sepanjang koreografi pada latihan sedari tadi, mereka tidak pernah ada kesempatan mendapat posisi saling berdampingan; tapi kelihatannya Wataru memang sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

Ah. Tinggi badan, tentu saja.

Agaknya karena perbedaan tinggi badannya dengan Wataru yang kian lama kian terlihat jelas sekali kontras oleh mata, peluang mereka dijadikan pasangan simetris akan menjadi semakin kecil. Mungkin ada kalanya mereka bergantian berada di tengah sebagai center, tapi barangkali tidak akan lagi bisa dipasangkan secara seimbang—Koki juga mengira dua orang dengan selisih tinggi badan nyaris mencapai lima belas senti meter itu kelihatannya memang benar-benar tidak cocok berada di posisi tengah sebagai pasangan simetris.

Ah, tidak masalah. Lagipula hal itu membuat Koki sedikit lega karena tidak perlu merasa canggung bersisian dengan Wataru—mungkin?

Akan tetapi, seperti pisau bermata dua, karena hal itu pula Koki jadi kian berprasangka bahwa Wataru merasa baik-baik saja ketika berjauhan dengannya di sana—eh, apa, sih, yang sedang ia pikirkan? Kenapa sekarang Koki malah merasa seperti tengah dijauhi oleh orang yang dia sukai?

Meskipun, yah, ada benarnya juga, sih—e-eh ... sejak kapan ....

Siapapun, tolong kendalikan dirinya sekarang juga.

"Koki?"

'Eh, siapa—'

"Oi, Koki."

'—oh, Rikuto, ya.' Koki refleks memijat-mijat keras dahinya dengan telunjuk dan ibu jari kanan sesaat selepas menolah ke arah sumber suara orang yang memanggilnya; mendapati Rikuto di sana memandangnya heran menggunakan tatapan yang seolah bicara 'kau-salah-makan-ya-tadi-siang'. "Eh, kenapa?" tanya Koki kemudian setelah kesadarannya kembali penuh, meski tangannya masih terus memjiat-mijat dahi pelan. Argh. Kenapa Ia tadi sempat berpikir kalau yang memanggilnya adalah Wataru—padahal jelas-jelas suara Rikuto dan Wataru itu jauh berbeda bagi telinga siapa pun yang bisa mendengarnya.

"Kau yang kenapa," Rikuto membalas cepat, memberi pertanyaan balik dengan nada yang terbilang agak datar. "Tidak biasanya kau kurang konsentrasi seperti tadi, lho."

"Tidak. Aku tidak apa-apa—"

"Tumben juga tidak langsung duduk ke belakang?"

Oh, ya. Koki sama sekali tidak sadar: sejak kapan pastinya sudah masuk waktu istirahat dari latihan. Pelatih koreografi mereka juga sepertinya sedang keluar sebentar; Koki tidak dapat menemukan kehadirannya di sekitar sini. Bahkan ketika ia mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruang latihan luas ini, Koki juga baru sadar kalau para Junior yang lain tengah duduk, beberapa mengambil air mineral dalam botol dan meneguknya, beberapa sisanya lagi terlihat mengobrol sambil sesekali tertawa dengan kawan terdekatnya.

did we get wrong? | kokiwata [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang