epilog

35 3 0
                                    

Kalau yang namanya melupakan itu mudah, seharusnya dari tadi Wataru bisa bernapas tenang; tidak ada satu pun beban kuat dalam pikirannya sejak tadi selama duduk di kereta hingga saat ini—masih di kereta juga, sih.

Tidak ada hal yang bisa Wataru lupakan selewat. Bukan cuma perasaan waktu kejadian tak berkehendak di ruang ganti yang masih kerap membayang-bayanginya itu belaka, tapi juga perasaannya secara keseluruhan. Ia tidak tahu sejak kapan semua bermula; mungkin memang saat itu, mungkin juga jauh-jauh hari sebelumnya, yang hanya saja ia tidak sadar.

Koki adalah orang yang baik. Namun, Wataru, di hari-hari biasa, kerap tidak pernah merasa punya perasaan lebih ketika mereka berhadapan, barangkali karena nyaris semua orang memang bersikap baik padanya (apa kau tahu bagaimana rasanya selalu disayangi?). Wataru baru mengerti bahwa Koki memiliki sifat yang kelewat baik padanya ketika lelaki itu mau susah-susah datang lebih awal hanya untuk menemaninya yang datang terlalu pagi, kemudian kian paham saat berhasil menyelami kedua matanya yang jernih kendati sekejap—membuatnya tenggelam tanpa kehendak; mungkin sejak itulah Wataru mendapati dirinya terjatuh, menyisakan luka yang terlampau indah.

Dengan kata lain, secepat itulah Wataru harus melupakannya: membersihkan luka bekasnya jatuh.

Tapi, ya, sudahlah. Tidak ada lagi yang harus ia pikirkan, seharusnya, karena hal yang paling penting adalah hubungan mereka sekarang barangkali sudah jauh lebih membaik dari beberapa hari belakangan.

Lagipula, Wataru sama sekali tidak tahu apa yang Koki maksud dengan lupakan dalam percakapan telepon semalam mereka yang entah kenapa malah berakhir larut sekali, dilanjut membicarakan banyak topik sembari sesekali tertawa lepas, seperti biasa. Koki memintanya untuk melupakan sesuatu, entah apa, dan sialnya ia malah menyetujui hal itu begitu saja secepat laju kereta yang kini tengah ditumpanginya.

Eh, tidak, kecepatan kereta ini sekarang mulai melambat, diiringi kalimat-kalimat dari pengeras suara bahwa kereta sedang singgah di sebuah stasiun. Wataru tidak terlalu jelas mendengarkannya; membuatnya tak tahu sekarang sudah sampai stasiun mana karena terlalu sibuk melamun memandangi lantai kereta, tapi kemudian ia dapat menyadari dengan jelas bagaimana pintu kereta terbuka secara otomatis; beberapa orang dari luar memasuki kereta, beberapa orang di dalam mulai keluar (mereka terlihat lumayan tertib. Setidaknya kalau dibandingkan suasana pintu kereta pagi-pagi di setiap hari kerja).

Dan salah satu dari orang-orang yang masuk adalah Koki.

'Kebetulan ...?'

Wataru yakin sekali—yakin bahwa itu memang Koki, bukan yakin bahwa ini adalah suatu kebetulan. Apalagi lelaki itu benar-benar tidak memakai apapun untuk menyamarkan wajah, dan dirinya juga begitu; memangnya buat apa, Wataru juga tahu mereka berdua tidak seterkenal anggota SixTones, Mr. KING, atau bahkan senior-senior sudah debut yang harus menggunakan masker dan kacamata hitam nyaris ke semua tempat agar tidak disadari banyak populasi manusia.

Intinya, jelas-jelas Wataru melihat Koki, menjadi orang terakhir nan masuk ke dalam gerbong kereta yang tengah ia tumpangi ini sebelum pintu otomatis tersebut tertutup kembali. Ia melihat Koki mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika kereta belum kembali bergerak, termasuk ke arahnya—Wataru cepat-cepat menutup mata, berpura-pura sedang terlelap tanpa sengaja agar Koki tidak sadar diperhatikan sejak tadi.

Ngomong-ngomong, mungkin kebetulan, atau frekuensi orang yang naik kereta di jam-jam sekarang itu memang jarang (Wataru tidak tahu; ia tidak terlalu sering menggunakan kereta ke tempat latihan), banyak sekali lahan-lahan kursi kosong tanpa pemilik. Karena kursi sisi kanannya dapat terbilang kosong juga, jadi, salahkah Wataru kalau berharap Koki menyadari kehadirannya, berjalan mendekat, memilih lahan di sisi kanannya sebagai tempat duduk—

did we get wrong? | kokiwata [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang