Koki mendapati dirinya hanya bernapas pelan, dan dengan memikirkannya saja cukup membuatnya yakin kalau ia sudah diam terlalu lama.
Barangkali memang benar—rasanya nyaris lima menit telah lewat sejak Wataru meninggalkannya sendirian di ruang ganti, kalau pikiran-pikiran rumit dan berbelit-belit itu tidak bisa dihitung sebagai teman. Mungkin sekarang kawan-kawannya yang lain mulai berdatangan satu per satu, atau justru sudah tengah duduk sembari bergurau bersama di sofa yang tersedia; kemudian Wataru ikut tertawa lepas di antara mereka seolah-olah tak ada apa-apa yang terjadi padanya beberapa saat lalu.
Ugh. Mengingat itu hanya membuat pikiran Koki tidak karuan dan kian berharap bahwa seandainya waktu bisa terulang.
Tidak tahu lagi harus berbuat apa, Koki mulai menggigiti bibir bawah, tenaga gigi-giginya lumayan keras, seakan-akan itu adalah sebuah hukuman yang ia berikan pada dirinya sendiri. 'Ah!' teriaknya dalam hati. Kenapa tadi akalnya sama sekali tidak mau bekerja—dengan kata lain, hei, bukankah orang-orang selalu berkata kalau Koki adalah satu dari sekian manusia yang terlahir dengan karunia berupa kepintarannya?
Mungkin ... ah, tidak, memang sudah seharusnya ia refleks mundur waktu keseimbangan kedua kaki Wataru mendadak goyah hingga punggung lelaki itu menubruk dinding di belakangnya. Tentu saja yang ia lakukan sejatinya bukan justru spontan mematung di sana tanpa berkedip; jemari kanan yang sebelumnya tengah membenarkan letak anak-anak rambut Wataru di sekitar telinga itu spontang berpindah, menuju pipinya yang waktu kecil dulu pernah Koki sebut mirip karet tipis; menangkup wajah agak kecilnya begitu saja tanpa mengindahkan situasi.
Mengerikan.
Jadi, kalau Koki menganggap dirinya sendiri adalah sebuah entitas mengerikan, bagaimana—apa yang kira-kira terlintas di pikiran Wataru saat mendorong dadanya sebelum lelaki itu pergi sembari membisukan kata-kata?
Wataru adalah salah satu kawannya yang paling lama di antara para trainee lain. Mereka mengikuti audisi di hari yang sama, resmi masuk agensi bersama-sama, pun senantiasa ditempatkan pada panggung dan peristiwa yang sama; kadang mendapat posisi yang bersisian, kadang juga jauh sekali; Koki merasa mereka berdua selalu dapat menjadi kawan dan saingan di saat yang bersamaan.
Lima tahun.
Lantas, sejak kapan semuanya mulai terasa ... berbeda?
Ketika sosok Wataru yang sekarang terlihat kecil di matanya itu melambaikan tangan tinggi-tinggi sembari menyerukan kata sampai jumpa besok!setiap pamit pulang lebih dulu karena mobil ibunya sudah datang menjemput sesudah selesai latihan rutin harian, Koki merasa ingin mendekat untuk mencubiti pipinya, dan lebih dari itu. Ia ingin mengusap rambutnya yang sering dibiarkan panjang hingga nyaris, nyaris sebatas bahu, kemudian rambut hitam kecokelatan tersebut berayun-ayun tertiup angin yang entah datang tiba-tiba dari mana: mungkin bagian yang itu cuma imajinasi Koki semata. Di waktu-waktu ketika Wataru kian puas tertawa, Koki hanya dapat diam-diam mengekor pandangan dari sisi untuk menatap sepasang iris hitam besarnya yang setengah tertutup kantong mata karena menyipit, atau gerakan bulu mata panjangnya yang cantik—... eh?
Detik selanjutnya, Koki mengerjap. Ia kembali sadar tentang waktu yang kian dihabiskannya hanya dengan diam berdiri (bahkan kakinya sama sekali tidak merasa lelah menopang thbuh selama itu sendirian) sembari melamuni hal-hal yang seharusnya tidak boleh ia pikirkan sejauh itu. Apa-apaan, sih, yang tadi itu. Koki semakin merasa dirinya sudah melewati batas.
Seraya berusaha menepis paksa pikiran-pikiran asing yang sejak tadi singgah secara tidak tepat di otaknya, Koki lantas mencoba memfokuskan dirinya pada dunia nyata. Ia yakin tidak lama lagi kawan-kawannya yang lain akan datang ke sini untuk berganti pakaian—Koki mantap memutuskan agar segera keluar dari ruangan ini kemudian berjalan menuju tempat yang kemungkinan besar dijadikan tempat berkumpul oleh yang lain; termasuk Wataru.
KAMU SEDANG MEMBACA
did we get wrong? | kokiwata [✅]
Fanfic⚠WARNING: bxb⚠ . . . "Aku takut. Koki, aku takut." Wataru mendorong dada Koki dengan spontan ketika sadar bahwa yang ia rasakan dan pikirkan sedari tadi benar-benar salah. Perasaan yang tadi itu jelas salah. Ia pasti sedang berhalusinasi tentang pan...