⭐bagian 37⭐

674 60 1
                                    

BAGIAN 37

****

Kalau dikasih banyak kesempatan, Wibi hanya mau memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat orang di sekitarnya bisa tertawa lepas atau minimal tersenyum untuk memberikan kekuatan pada diri sendiri agar bisa lebih berani menghadapi kenyataan. Walaupun memang kenyataan terlalu misterius untuk ditebak dan terlalu abu-abu untuk dipikirkan apakah mampu menjalaninya atau tidak.

Gue nggak tahu apa itu definisi bahagia yang sebenarnya karena menurut gue, bahagia itu relatif dan netral. Semua orang punya pandangannya sendiri-sendiri tentang kebahagiaan. Gue nggak pernah tahu apakah ketika orang-orang ketawa atau senyum karena gue, mereka bisa dikatakan bahagia temenan sama gue. Gue nggak terlalu percaya sama perkataan atau bahkan jawaban orang ketika gue tanya apa mereka bahagia punya teman kayak gue, punya anggota keluarga kayak gue. Karena bisa aja mereka bilang kayak begitu karena memang menghargai semua usaha gue buat bikin mereka seenggaknya bisa senyum.

Terlalu susah ngebuat orang orang ngerasa bahagia mengingat gue juga tipe orang yang terlalu peduli. Gue nggak terlalu suka mengkhawatirkan orang-orang yang memikirkan gue aja mereka nggak pernah. Gue nggak bakalan mau repot memedulikan orang yang bahkan menganggap usaha gue

"Temannya Ruby ya?" sapa seorang wanita anggun yang membukakan pintu rumah Ruby saat Wibi mengetuknya beberapa kali untuk menepati janjinya pagi ini.

Mamanya Ruby. Dengan pakaian yang sudah rapih dengan riasan sederhana di wajah ayunya.

Wibi refleks langsung mengamit punggung tangan beliau untuk salim, "iya, Tante. Ruby... ada di rumah?" tanyanya.

"Ada, tapi dia masih tidur. Tante duluan ya. Dan... tolong jaga Ruby dulu. Ajak dia jalan-jalan sebentar sampai nanti saya kembali."

Wibi terdiam sebentar namun setelahnya langsung memberikan respons dengan anggukkan kepala yang kaku. Tanpa diberitahu yang sebenarnya saja, Wibi sudah tahu kenapa pagi ini Mamanya Ruby berpakaian rapi dan menyuruhnya untuk membawa Ruby jalan-jalan sebentar sampai urusan beliau selesai.

Wibi kemudian berbalik untuk menyaksikan bagaimana mobil Honda Jazz itu meninggalkan halaman rumah Ruby kemudian perlahan menghilang dari pandangan. Wibi menunduk sambil mengusap wajahnya. Hari ini mungkin saja akan menjadi hari paling berat untuk Ruby.

Gue nggak pernah tahu dan paham gimana cara menenangkan orang kalau dia lagi nangis. Tiap kali gue tanya cara gimana dan orang itu ngasih tahu caranya menenangkan orang yang lagi sedih ataupun nangis, selalu gagal gue terapkan dan akhirnya, gue pakai cara gue sendiri, yaitu diam.

Setelah Mamanya Ruby meninggalkan halaman rumah dengan mobil yang beliau kendarai, Wibi perlahan mulai melangkahkan kakinya memasuki rumah itu yang mana sudah disambut baik oleh Bibi. Dipersilakannya Wibi untuk duduk sementara menunggu Bibi membuatkan minuman dan makanan ringan. Sebenarnya tadi Wibi menolak karena nggak enak, nggak mau nambahin pekerjaan Bibi juga, tapi karena Bibi yang maksa dan bilang kalau bakalan lama nunggu Ruby sampai bener-bener bangun tidur, Wibi mengiyakan saja.

Mungkin yang Wibi lakukan saat ini tergolong lumrah karena pernah dilakukan hampir semua orang yang berkunjung ke rumah orang lain—yaitu memerhatikan beberapa figura foto yang ditata dengan rapih di sana mulai dari ukuran kecil, sedang, sampai yang paling besar. Banyak terdapat foto Ruby bersama dengan Reby saat mereka masih berusia sekitar lima tahunan. Sekilas kalau diperhatikan, keduanya memang sangat mirip. Yang membedakan hanyalah, kalau diperhatikan dengan detail, Reby memilih tahi lalat di pelipis sebelah kanan sementara Ruby tidak memilikinya.

Sebagaimana masa kecilnya lo, sekarang sampai kapan pun lo berhak bahagia, Ruby.

Tak lama, Bibi datang dengan secangkir teh hangat manis beserta tiga buah toples yang berisi makanan ringan.

Kisah KlasikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang