Wulan

212 31 12
                                    

Wulan itu sebenarnya manis sama seperti aku hanya saja kadar kejutekan nya lebih banyak dari pada aku.

Waktu ibu melahirkan Oberon (adik bungsu ku) setelah itu adalah hari ulang tahun ku. Kebiasaan ku ketika ulang tahun adalah membuat kue yang akan aku antar ke rumah nenek.

Nenek adalah orang yang membatu ibu memberikan dan merawat adik-adik ku yang usianya masih kecil. Moena, Laluna, dan Bintang berada di bawah pengawasan nenek. Ia sudah seperti nenek ku sendiri.

Nenek hanya hidup berdua dengan Mbah(Suaminya). Lima anaknya merantau ke Jakarta dan jarang sekali pulang. Kasihan yah.

Hari itu aku diantar Wulan menuju tempat nenek. Tentunya dengan berjalan kaki, karena Rumah nenek tepat berada di belakang komplek perumahan kami.

"Eh anak pak Rawi. Mau kemana?" Sapa seorang ibu ramah.

"Mau ke kampung belakang Bu" Jawabku dengan sopan.

Di komplek perumahan ku ada sekitar sepuluh orang ibu-ibu yang rutin berkumpul setiap sore. Biasanya mereka membawa anak mereka dengan makanan di dalam box kecil. Makan di luar kalau istilah Bapak.

"Katanya ibunya habis melahirkan yah?" Tanya ibu lain.

"Iya Bu. Kenapa?" Wulan yang menjawab.

"Loh gak apa apa. Kan saya cuma tanya" jawab ibu itu.

"Anak pak Rawi banyak yah. Ini adik yang keberapa sky?" Tanya ibu yang lain nya.

"Ke tujuh Bu"  Aku berusaha menarik tangan Wulan yang kini berdiri dengan tatapan sinis.

"Ga pusing itu? Kalau saya sih sudah angkat tangan"

"Kami yang punya keluarga besar kenapa ibu yang pusing? Kami ga minta makan kok sama ibu" mulut si Wulan emang deh.

"Eh anak kecil ngomong nya yah ! Sky ajarin tatak rama dong adiknya"

"Buat apa tatak rama sama orang yang ga punya tatak rama? Lagian ibu ibu kaya ga punya kerjaan lain aja, setiap hari nongkrong di sini"

Aku menarik tangan Wulan kencang, hingga ia sedikit terseret. Tak lupa aku berpamitan saat meninggalkan ibu-ibu itu, agar cap anak tak punya sopan santun itu dapat terkikis sedikit di mata mereka.

"Ga sopan jawab omongan orang tua ulan. Ibu kan ga mengajarkan seperti itu" bisik ku.

"Buat apa sih mba sopan sama orang yang ga sopan sama kita?"

"Kalau ada anak nakal terus kamu mau nakal juga sama anak itu?"

"Iya lah. Qisos kan boleh mba"

"Membalas itu memang di perbolehkan Wulandari," kata ku sedikit geram.

"Iya, tapi lebih baik memaafkan. Karena memaafkan itu perbuatan yang mulia" Wulan menyambung perkataan ku. Aku memang ingin berkata seperti itu.

"Kalau sikap mba begitu terus ya mba akan di injak-injak terus. Begitu kata mba Nu kan?" Mba Nu perlu dilaporin ibu nih !

"Memaafkan boleh tapi membalas juga boleh sebagai bentuk pelajaran pada mereka," aku yakin ini bukan kata-kata bocah sembilan tahun.

"Kata siapa?" Tanya ku sedikit menyelidik.

"Kata mba Nu dong. Kata siapa lagi?"

"Omongan mba nu kamu tanam dalam otak mu yang bagus. Sayang banget. Percaya aja lagi kamu tuh"

"Loh? Memang kenapa ga boleh percaya sama mbak Nu?"

"Ya kan otaknya sama otak sapi aja sama. Masa kamu percaya sama orang yang otaknya sebelah duabelas sama otak sapi"

"Oh iya yah? Kok ulan jadi bodoh gini" ia mengetuk kepalanya.

"Kebanyakan ngobrol sama mbak Nu nih"

***

#LittleBees10
#LittleBeeschallenge
#LittleBees

SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang