Prolog

5K 270 22
                                    

Alarm pada ponsel berbunyi begitu kencang, dengan malas Kanika membuka kelopak matanya perlahan. Tangan kanannya menggerayangi sisi kasur untuk mencari ponselnya yang terus berdering. Setelah mendapati benda pipih berwarna putih itu ia pun mematikan nada alarmnya. Dalam sekali hentakan ia pun terduduk, lalu mengucek kedua matanya. Dengan enggan ia bangkit dari kasur yang merupakan spot favoritnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi.

Setelah selesai bersiap, ia pun keluar dari kamar dan turun menuju dapur yang berada di lantai bawah sebelah kanan. Terlihat sang ayah sudah duduk manis di depan meja makan sembari membaca artikel dari dalam tabnya, dan sang ibu yang sedang menyiapkan beberapa hidangan di atas meja.

"Eh anak gadis ibu udah cantik. Makan dulu, Nak."

"Ibu masak apa? Kok wangi banget. Bisa-bisa Nika nambah dua piring nih," celetuk Nika, tangannya mengambil sepotong ayam goreng di atas piring dan melahapnya.

"Hush, anak gadis gak boleh rakus," ucap sang ibu, "kalau makan sambil duduk sayang, nanti kamu tersedak." Ibu Anita yang merupakan ibu Nika pun menggeser kursi disampingnya. Dengan cepat Nika duduk di kursi tersebut lalu mengambil piring.

"Yah, ayok makan! Baca mulu, sayang makanan enak dianggurin." Kanika mengambil dua centong nasi ke atas piring dan meletakkan ayam yang tadi ia makan di atasnya, ditambah beberapa sendok tumisan capcay dan sedikit sambal disisi mangkuk.

Sang ayah, Pak Ganendra pun menyimpan tab-nya, "Ayah lagi keasikan baca tentang materi diklat nanti," ucapnya, "Ibu juga ayok makan. Jangan lupa baca do'a dulu ya."

Lalu dengan khusyu ketiganya membaca do'a dan tak lupa berterimakasih pada Tuhan karena hari ini masih diberi kesehatan dan juga kenikmatan dalam menyantap makanan. Tak lama ketiganya menyantap makanan dengan lahapnya, sampai-sampai tak ada terdengar suara apapun kecuali dentingan sendok dan piring.

"Jadi hari ini rencana kita apa yah?" tanya Kanika. Tangannya terampil menumpukkan piring-piring kotor lalu membawanya ke tempat cuci piring.

"Ayah udah bilang 'kan kalau kita mau pindah ke Jakarta?"

Kanika mengangguk, "Ya, Nika tau. Cuma Nika gak tau jelas kapan kita pindah, terus planning ayah ke depan mau gimana? Walaupun Nika baru lulus SMP, seenggaknya Nika harus punya bayangan tentang masa depan Nika di Jakarta nanti."

"Seperti yang Nika tau, ayah di Jakarta mengelola sekolah bersama om Ardie. Selama dua tahun ini ayah merintis sekolah itu dan tahun ini lonjakan pendaftaran siswa cukup tinggi. Ayah harus mulai fokus di sana dan ayah gak sanggup harus pulang-pergi Jakarta-Surabaya setiap minggunya. Jadi, setelah Nika lulus, ayah berencana menyekolahkan Nika di sana."

Nika pun selesai mencuci piring, sejenak ia terdiam selama beberapa detik.

"Nika?" Panggilan dari sang ayah membuyarkan lamunannya. "Gimana? Kamu gak keberatan 'kan?"

Nika menggelengkan kepalanya, "Enggak kok yah. Nika setuju, malah Nika pengennya kita gak usah kepisah jarak. Kasian juga ayah harus pulang pergi Jakarta-Surabaya."

"Hmm ... jadi kapan rencana kita pindah yah?" lanjutnya.

"Lusa, sayang."

"Oh lusa ...," Nika tercengang, "hah?! Lusa?!" Gadis bersurai hitam itu menepuk dahinya.

**

Tak terasa lusa pun telah tiba, Nika dan kedua orang tuanya memasuki taxi online. Ia tak membawa barang banyak, hanya beberapa baju di dalam satu buah koper. Toh rumahnya ini masih akan ditempati jika suatu waktu mereka harus kembali ke Surabaya, lagipula menurut sang ayah semua peratalan kebutuhan rumah tangga sudah tersedia di rumah barunya.

My Fiance is My Enemy | (HANLIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang