Perjodohan

1.7K 180 17
                                    

Nika saat ini sedang duduk di tengah gazebo yang berada di taman belakang. Gazebo berukuran 4x4 meter itu dipenuhi oleh berbagai macam jenis buku yang tersusun rapi di dalam rak yang berada di sudut kiri. Ia membuka halaman demi halaman buku yang tengah ia baca sejak satu jam lalu. Sesekali tangannya mengambil sepotong kue kering yang berada di dalam toples, angin semilir di sore hari membuatnya semakin betah melakukan kegiatan favoritnya ini. Sudah tiga hari sejak kegiatan kemah bersama tempo lalu, Nika masih saja penasaran dengan sosok tersebut. Ia berjanji akan mengucapkan terima kasih pada sosok tersebut, karena berkatnya ia masih bisa selamat dan mendapat luka ringan saja.

Beberapa menit kemudian, Anita, ibu Nika memanggilnya dari daun pintu ruangan yang percis berada dihadapannya. "Nika! Ayok kita siap-siap sekarang!"

"Loh, mau kemana Bu?"

"Kita mau makan malam sama keluarganya om Ardie, Nika." Nika mengerutkan dahinya, jika keluarga om Ardie otomatis ia akan bertemu dengan Bian.

"Bu, bisa gak kalau Nika gak usah ikut?" rengeknya. Tetapi Anita menggelengkan kepala, mengintruksikan bahwa gadis itu tetap harus ikut. Dengan malas Nika kemudian bangkit, ia menyimpan kembali buku yang ia baca ke dalam rak sesuai tempatnya semula.

Nika pun bersiap, ia menggunakan serangkaian skincare yang ibunya beli beberapa hari lalu. Dimulai dari pelembab, toner dan urutan cream lainnya. Setelah selesai ia memakai sedikit bb cream, agar wajahnya tak terlalu pucat, lalu mengulas bedak dan blush on tipis, kali ini ia memilih blush on berwarna coral yang disenadakan dengan lip balm-nya. Kemudian ia membuka lemari pakaian, Nika memilih untuk memakai mini dress di atas lutut berwarna peach dengan model bahu sabrina. Kulitnya yang pucat terlihat jadi lebih hidup dengan padu padan warna tersebut. Rambutnya ia curly pada sisi bawah lalu mengikatnya setengah dengan pita. Tak lupa ia memakai gelang berwarna silver dengan bandul membentuk huruf berinisial huruf N. Ia mengambil clutch bag dengan pegangan kayu dan warna senada. Memasukkan ponsel juga lipbalm agar bibirnya tak kering. Setelah selesai bersiap, Nika menghampiri kedua orang tuanya yang sudah menunggu.

Empat puluh menit kemudian mereka sampai pada sebuah restoran mewah, Nika beserta kedua orang tuanya berjalan menuju sebuah room yang sudah direservasi secara khusus. Saat membuka pintu ternya om Ardie, tante Sandra dan tentunya Bian sudah menunggu di sana. Nampak kedua orang tua mereka langsung membaur, saling berbasa-basi satu sama lain. Nika melirik ke arah Bian yang duduk tepat didepannya. Terlihat pemuda berhidung bangir itu tak acuh, ia lebih memilih bermain ponsel dibandingkan membuka obrolan bersama Nika.

"Hei kok pada diem-dieman gitu?" ucap tante Sandra. Bian melirik ibunya sekilas lalu kembali memainkan ponselnya.

"Bi, ajak Nika ngobrol dong. Tentang sekolah atau apa, biar kalian lebih akrab," lanjutnya, "masa Nika dianggurin terus, kasian loh udah dandan cantik gini."

Nika membatin dalam hatinya, ia dandan cantik bukan untuk Bian tapi untuk kepuasan dirinya sendiri. Lagipula, ia tak peduli dengan pemuda itu. Mau terkihat cantik atau tidak, sungguh ia tak peduli.

Om Ardie membuka obrolan, "Nika, om mau tanya sesuatu, boleh?"

"Boleh, Om," balasnya. Suasana nampak serius, terlihat sang ayah tersenyum padanya, dan ibunya menautkan jemarinya kuat. Nika merasa atmosphere berubah menjadi lebih serius. Ia mengedarkan pandangan pada tante Sandra yang sedang menepuk-nepuk bahu Bian sembari tersenyum.

Suasana apa ini.

"Jadi, om, tante dan kedua orang tuamu sudah banyak berbincang. Kita berdua memiliki niat baik, disamping itu kita juga sudah bersahabat sejak lama. Untuk itu om menawari pertunangan antara Nika dan Bian. Bagaimana? Om harap kamu tidak mengecewakan kami."

Bagai petir di siang bolong, bola mata Nika membelalak. Ia menatap orang-orang di sekelilingnya tak percaya, terutama kedua orang tuanya yang nampak sumringah mendengar penuturan om Ardie tadi. Ia melirik ke arah Bian, pemuda itu masih tak acuh. Nika duga, Bian sudah tau mengenai perjodohan ini. Lalu, kenapa ia diam saja tak menolaknya.

"T-tapi, Om. Maaf sebelumnya kalau saya lancang," Nika mengambil nafas dalam, "Saya sama Bian masih sekolah, lagipula kita juga tidak terlalu dekat satu sama lain. Dan juga ... di zaman modern ini kayaknya perjodohan sudah tidak relevan, Om."

Om Ardie tertawa, "Hahaha, benar-benar anak Ganendra! Tenang aja Nika, ini perjodohan tidak resmi, om tidak akan memaksa kamu untuk menerima anak om yang tampan ini."

"Apa karena anak tante sifatnya begini ya, Nika? Jadi Nika gak mau?" Tante Sandra menarik jemari Nika dan mengusapnya. Raut wajahnya terlihat memelas, terselip nada permohonan dari ucapannya.

Bian menyimpan ponselnya di atas meja, kemudian ia melipat kedua tangannya di atas dada dan kini memfokuskan pandangannya kea rah Nika. Ia tak bersuara, pun menyanggah. Nika balik menatap Bian, pandangannya penuh harap agar pemuda itu ikut menolak.

Tiba-tiba Bian bangkit. "Om, tante, saya izin bawa Nika dulu keluar. Kayaknya dia shock dengan perjodohan ini. Biar saya obrolin berdua dulu dan bikin Nika lebih relax."

Tante Sandra melepaskan genggaman tangannya pada Nika, lalu ia tersenyum ke arah Bian. Sementara itu Bian memberi gestur gerakan kepala untuk mengajak gadis itu keluar. Dengan sigap Nika bangkit, banyak yang ia ingin bahas berdua dengan pemuda itu, terutama perjodohan konyol ini.

Bian menyandarkan punggungnya pada sisi dinding, ia merogoh saku dan mengeluarkan sebungkus rokok juga zippo. Sedetik kemudian sebatang rokok sudah terselip diantaranya telunjuk dan jari tengahnya. Dengan isapan dalam ia mengeluarkan kembali kepulan asap dari rongga mulutnya. Nika yang berada tak jauh darinya terbatuk, sesekali ia mengibaskan asap yang mengarah padanya. Ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir, bagaimana bisa ia dijodohkan dengan pemuda macam ini.

"Langsung to the point," Bian membuka suara. "Jujur, gue udah nolak perjodohan ini dari beberapa hari yang lalu. Tapi seperti yang lo tau, bokap nyokap gue punya sifat agak pemaksa dan tentunya kalau gue gak nurut, bakal ada konsekuensinya."

Nika melipat kedua tangannya di atas dada, menatap Bian tak pecaya. "Tapi ini keputusan egois! Kok bisa orang tua lo bikin kesepakatan kayak gini tanpa persetujuan kedua belah pihak? Gue berasa jadi pion catur kalau gini caranya."

"Ini bukan keputusan egois, nyatanya kedua orang tua lo juga ikut andil dalam perjodohan ini!" sanggah Bian. Ia membuang rokoknya yang sudah habis setengah, lalu menginjaknya.

Nika memijat dahinya yang mulai berdenyut. Pikirannya mendadak buyar. Untuk seorang siswi anak kelas satu sekolah menengah, hal ini merupakan salah satu permasalahan berat yang ia hadapi. Ia menatap Bian yang sedang melamun. Keduanya sama-sama bingung dan buntu.

"Pokoknya gue gak mau perjodohan ini terjadi! Titik!" ucap Nika dengan tegas. Bian meliriknya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Heh! Lo pikir gue mau? Lo pikir gue sudi? Lo bukan tipe gue ya! Gak usah sok jual mahal lo Karnika!" sentak Bian.

"Maksud lo?! Enak aja—" Tiba-tiba ponsel Nika bergetar dari dalam clutch bag-nya. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut yang ternyata dari sang ayah. Setelah beberapa saat ayahnya berbicara, tampak Nika merubah raut wajahnya menjadi sendu, pandangannya kosong. Sesekali ia menghela nafas dalam dan menatap ke arah langit, sambil mengangguk-angguk ia menggigit bibir bawahnya hingga kemerahan. Beberapa detik kemudian panggilan telepon usai, ia menyimpan kembali ponselnya pada clutch bag dan mengusak wajahnya. Kemudian Nika menatap Bian lamat, bibirnya mengulas senyum getir dan tanpa sadar bulir bening yang ia tahan sejak beberapa menit lalu kini lolos dari pelupuk matanya

"Bian ... gue setuju kita dijodohin."

Bian menelisik Nika lalu menyeringai, "Oke, dengan catatan perjodohan ini gak lo publish di sekolah. Awas aja lo bocor!"

Pemuda itu berjalan meninggalkan Nika sendirian menuju ke dalam restoran, sementara Nika menjatuhkan tubuhnya sambil berjongkok dan menutupi wajahnya. Ia menangis terisak, pasrah dengan perjodohan konyol ini. 

My Fiance is My Enemy | (HANLIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang