Kepalaku menengadah. Hari ini hujan.
Televisi berulang kali menyiarkan siaran ulang tadi pagi, Curcol para akademisi tak berprofesi yang berdalih ‘pengamat ahli’. Tak ada seorangpun yang tahu apa pekerjaan mereka selepas acara. Tak ada yang peduli, tak ada yang menonton. Suaranya hanya menjangkau ruang tamu yang mati, dan menyusup ke dalam kamar dimana balkon ini berada.
Baru dua semester berlalu, hidupku sudah terasa hambar. Tinggal sendiri di apartemen yang harus kutanggung sewanya dengan kerja sambilan, selagi adikku memperlakukan Ayah dan Ibu bak ATM berjalan. Aku sudah melangkah lebih jauh dengan pengalaman kerja, dan menolak ajakan atasanku sendiri untuk berkencan. Selebihnya rutinitas datang, belajar, makan, belajar, dan pulang.
Hari ini hujan, hujan yang kuharap menyapu segala kejenuhan dan kebosanan pergi ke lautan luas. Beruntung hari ini hari Minggu, sehingga aku tak harus mendengarkan kisah – kisah brilian seorang makhluk alpha di alam mimpi bernama Tetsuma Akiyoshi. Namun hari baru dimulai, dan mau tidak mau aku harus menghabiskan uang ke Laundromat ketika dewi di atas sana akhirnya berhenti sauna matahari. Sayang, besok sudah hari pertamaku menginjak kelas dua.
Coffee Maker bekas dari Ayah belum sampai juga, jadi aku tak bisa merenung dan berucap filosofi omong kosong bak seorang sastrawan inggris antah berantah. Well, bukan berarti aku punya minat untuk bermain peran sebagai novelis kehabisan ide yang kerap menuliskan status pretensius nan berbunga-bunga di media sosial.
Nanti saja browsing Internet, parade doujinshi musiman masih jauh. Dan aku sedang malas mencuri-curi baca di toko buku sekitar Akihabara. Makan waktu setengah jam dari stasiun kereta yang jaraknya setengah jam berjalan kaki. Enam puluh menit yang habis demi sembilan belas halaman komik porno itu mubazir.
Jalanan di bawah balkon apartemen dua tingkat ini terasa sepi. Mungkin karena tatanan rumah – rumahnya yang membelakangi jalan ini, sehingga membuatnya terkenal sebagai jalan yang nyaris tak pernah dilalui mobil pengangkut sampah mingguan.
Tapi sebuah mobil taksi selalu berhenti di sana. Di tempat yang sama, kadang seminggu, kadang sebulan rentang waktunya. Seolah kehabisan tempat bersembunyi, Sepasang penumpang yang sama selalu turun dari taksi itu dan membungkuk berterima kasih sebelum berlalu entah kemana.
Kisahnya berawal dari ketika dua bulan setelah aku pindah kemari. Melepas penat sehabis mengatur tata letak kamar ini sendirian, aku melangkah ke balkon untuk mencari angin segar. Dan disanalah aku melihat mereka untuk pertama kalinya. Seorang lelaki yang gemar mengenakan sweater abu-abu bersama seorang gadis yang mengenakan seragam perempuan dari sekolahku. Dan selebihnya tak perlu kujelaskan lagi, karena aku tak tahu mereka pergi ke mana. Mungkin sekadar mengantar perempuan itu pulang ke rumahnya atau entahlah.
Seperti seorang penguntit, pasangan itu seolah menjadi tontonan wajib setiap kali aku berjalan ke balkon. Mungkin karena jarang sekali ada kendaraan yang melintas di sana. Tampaknya aku juga butuh pacar, seperti yang diwanti-wanti oleh adikku di rumah.
Terang saja, seperti sihir sebuah taksi kembali menepi di sana. Tumben, waktu masih menunjukkan pukul enam.
Pintu taksi itu terbuka, dan seorang gadis turun dari sana.
Namun sang lelaki yang menemaninya kini entah dimana.
Seakan masa bodoh, supir taksi itu hanya berlalu meninggalkannya. Bahkan payung pun tak ditinggalkan untuknya.“Ah... kejam juga bapak itu.” Gumamku. Di tengah hujan sederas itu tak mungkin siapapun bisa mendengarnya selain diriku sendiri.
Namun begitu kusadari, dia sudah menoleh ke atas.
Sang Gadis Hujan menatapku sendu, seolah sadar akan sepasang mata yang memperhatikannya selama ini.
Sang Gadis Hujan, siapakah aku di matamu?
KAMU SEDANG MEMBACA
雨の少女(Ame No Shoujo), The Girl in Rain.
Подростковая литератураSemenjak sore di tengah hujan itu, aku perlahan melepas kendali hidupku yang semula statis. Release: 1-2 Monthly Chapters Cover: chris4708 ( http://www.pixiv.net/member_illust.php?mode=medium&illust_id=44910586 )