3. Waktu Berlalu Terlalu Cepat

123 8 12
                                    

Aku mendengar langkah kakinya dari dalam kamar studioku. Kala itu waktunya pukul delapan malam. Mungkin aku akan terbiasa mendengar ini setiap harinya, karena gadis itu adalah tetanggaku.

Aku tak pernah membeberkan kemampuan masakku ke teman-teman di sekolah. Rebusan daging malam hari ini juga harusnya sedang menggelembung cantik di atas kompor gas yang menyala. 

"Sempat nggak ya..." aku mengulangi kata-kata itu ke diriku sendiri. Kepindahanku kemari mungkin hanya berbeda satu atau dua hari dengannya, karena baru tadi sore aku melihat beberapa orang meninggalkan kardus-kardus yang berbunyi redam ketika ditumpuk di atas lantai. 

Gadis-gadis di televisi berkeroyokan menyanyi sepotong lirik dari lagu mereka, sementara mereka terlihat sedang meminum sebotol produk isotonik baru. Bukan hal yang mengganggu, tapi aku hanya membayangkan bagaimana reaksi-reaksi Wota begitu menonton iklan ini.

"Seperti luar biasanya," batinku ketika membuka notebook di atas satu-satunya meja bundar di tengah kamarku ini dan mengetikkan nama grupnya. Isinya penuh dengan kepingan-kepingan gambar yang ditangkap dari klip di televisi barusan dan berbagai macam opini bersemangat tentang anggota grup vokal perempuan ini. Aku bukan Wota, terima kasih.

Acara sepakbola yang langsung disiarkan ke televisi juga seru, tapi hampa. Mungkin karena pemainnya orang-orang dewasa yang bukan teman-temanku, jadinya menonton sendiri terasa garing sekali. Acara masak? Aku sedang memasak saat ini.

Acara humor manzai menggampar penontonnya dengan lelucon yang receh tidak karuan, persis seperti lakon A yang menggampar lakon B dengan telapak tangannya.  

Media sosial tampak begitu liar dengan teman, sanak, hingga artis berbagi pencapaian video game populer di beranda mereka. Barangkali kalau aku mengklik salah satunya, aku sudah membantu mereka untuk selangkah lebih dekat menuju karakter idaman.

Sudah setengah sembilan, seharusnya masakanku sudah matang. Lagi terdengar langkah kaki itu melangkah melewati pintu depanku. Aku menoleh lagi ke arah Sukiyaki itu. Duh, masih belum juga matang... belum?

"Oh sial!" kutukku. Benar saja, apinya masih sekecil lilin semenjak awal kuah rebusannya mendidih. Bodoh, bodoh! Kalau begini aku tak mungkin memperkenalkan diri dengan tangan yang kosong!

Langkah kakinya terdengar lagi, melintasi pintu kamarku dan barangkali langsung masuk ke kamarnya untuk tidur. Memang konyol sekali kalau aku berharap apa-apa, tapi kenyataan tetap berkata lain.

Knop sudah kuputar kembali ke medium, namun tidak terdengar tanda-tanda ia kembali dari... entah kemana perginya pada waktu itu. Sementara itu, kuah di panci rebusku sudah kembali bergelembung merdu.

Capek menunggu, akhirnya kumakan sendiri Sukiyaki itu di atas meja makanku, alias meja tempat laptop itu menanti tuannya. Meja yang sungguh multi fungsi. Rasa daging iga yang meleleh di mulut terasa hambar saat tujuan Sukiyaki ini gagal total. Sungguh hambar.

Ternyata benaran hambar. Garam dan kecap ikan yang kumasukkan belum cukup banyak, jadi kutambah sedikit lagi dengan panas api yang sedikit kukecilkan supaya sayuran di dalamnya tidak menjadi lapuk. Barangkali aku juga lupa menambahkan merica, yang tentu saja sudah kumasukkan sedikit sedari awal.

Malam ini luar biasa gersang dengan drama tengah malam dan sisa Sukiyaki hangat-hangat kuku. Seharusnya kuhabiskan waktu ini untuk mengerjakan PR Bahasa Jepang dan...

Eh.

Bodohnya aku. Seharusnya PR ini bisa jadi alasan yang bagus untuk berkenalan dengannya. Sekarang sudah pukul sebelas dan barangkali ia sudah tertidur pulas di kamarnya sendiri. Seribu yen yang sia-sia. Sial.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

雨の少女(Ame No Shoujo), The Girl in Rain.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang