Aku tahu kedengarannya ini menggelikan, tapi aku lebih suka Light Novel daripada Manga.
Meskipun Akiyoshi berulang kali menyarankanku kisah samurai yang penuh dengan goresan-goresan tinta mengagumkan, pada akhirnya aku takluk dengan pesona dunia lain antah berantah yang lebih enteng dicerna.
...sayangnya aku masih belum bisa lupa adegan mendebarkan tempo hari.
Meskipun mataku sudah sampai di bagian kisah di mana sang tokoh utama membelah raja setan dengan gagahnya, pikiranku melayang ke ciuman antar kekasih di sore itu.
Bukan hal yang asing sebenarnya, malah lumrah. Valentine, Natal, Valentine tahun berikutnya, Natal tahun berikutnya juga. Tidak asing sebenarnya melihat pasangan-pasangan mesra yang tahu pada tempatnya.
Namun pertemuan rahasia memang selalu menempatkan saksi-saksinya menjadi orang yang spesial, sengaja tidak sengaja. Dan tentu saja hal ini menggangguku untuk berkonsentrasi membaca...
"Woi, Amano."
Hikari melengos dari balik sampul buku itu. Ajaibnya, ia hanya tidur barang dua puluh menit mungkin saat pertama kali aku masuk ke dalam ruang klub ini.
"Apa? Aku belum selesai baca, lho," balasku ketus.
"Sudah satu jam kamu bengong di halaman yang sama, lho. Mikirin apa?"
Hah?
Aku melihat waktu dari ponselku. Benar saja, sudah satu jam berlalu semenjak aku memasuki ruang klub. Hanya kami berdua yang ada di klub, sementara Akiyoshi barangkali sedang mencuri gadis orang di luar sana dengan kepopulerannya.
"Kalo nggak niat baca ya bukunya, sini. Aku juga belum baca, lho," nada bicaranya selalu terdengar seperti hidup segan mati enggan. Ngelindur baik sadar maupun di bawah alam sadar.
"Bentar," aku pura-pura sibuk. Ada citra yang harus kujaga di sekolah.
"Hmm..." Hikari tampak curiga. Sorot matanya memang selalu tampak datar, dan isi kepalanya entah siapa yang tahu. "Cewek?"
Benar sekali.
"Oh benar, toh."
"Eh, keceplosan ya?!" citra runtuh dalam sekejap.
Gadis itu menyibak kuncir rambut hitam panjangnya yang beristirahat di tumpuan bahunya. "Ya nggak apa-apa, Amano. Aku juga mengerti kamu masih remaja."
"Hmm, gimana ya..." aku mulai mencoba untuk menjelaskannya sebisaku, "ada orang yang membuatku penasaran, tapi... duh, susah jelasinnya."
"Oh, ya udah."
Ternyata hanya dianggap basa-basi. Mungkin ia juga berpikir kalau percuma mengobrol dengan orang yang kerjanya hanya membaca Light Novel sepertiku.
Tapi tunggu, bukunya ke mana?
"Jangan ganggu dulu ya. Lagi baca."
Hikari sudah menilap bukuku dalam sekejap mata. Tidak heran ia jago betul bermain kartu dengan curangnya.
Tanpa hiburan lain, aku pun melangkah gontai menuju pintu keluar satu-satunya ruangan ini. Keluar dari jendela tentu dilarang oleh sekolah, betapapun inginnya aku memuaskan dahaga di mesin minuman yang letaknya persis di belakang tembok sebelah jendela yang bersangkutan.
"Hikari, udah siap jalan?" demikian panggil seseorang di balik pintu.
"Belum, masuk aja."
Mulanya aku ingin membukakan pintu, tapi tangan sosok pemilik suara feminin itu sudah membukanya lebih dahulu.
Sosok berambut panjang itu berpapasan melewatiku dan langsung menghampiri Hikari, yang dengan segala kelangkaan mimik wajahnya tersenyum ramah.
Tunggu, rambut panjang?
Aku berbalik melihat perempuan tersebut dan tidak percaya dengan siapa yang kutemukan.
Paras gadis berambut panjang itu menyimpan elegansi tidak terperi. Ketika ia mulai membuka obrolan kepada Hikari, hanya percaya diri yang dapat tergambar dari tutur katanya. Tegas, tapi penuh pengertian. Catatan, aku tidak terlalu memperhatikan apa yang mereka obrolkan di sana.
Bahkan ketika ia balas tersenyum menyapaku, ia memancarkan impresi yang jauh berbeda dibandingkan gadis-gadis sebayanya yang pernah kutemui. Tunggu, mengapa rasanya senyum itu sangat tidak asing bagiku...
"Hus, hus," usir Hikari sambil mengibas-ngibaskan tangannya seolah-olah aku adalah hama, dan aku pun malah menurutinya begitu saja dengan menggeser tutup pintu klub dari luar. Sosok tamu itu masih terngiang di kepalaku karena entah mengapa, gaya rambut itu dan paras wajahnya ketika menoleh ke arahku mengingatkanku pada seseorang.
"Makasih ya, Hikari," ucap gadis itu seketika ia keluar dari ruangan klub. Aku pun masih terpaku di sana, mengingat-ingat asal mula memori yang mengganggu ini. "Ups, permisi," katanya meminta maaf saat ia menyalip diriku yang masih tenggelam dalam pikiran di balik daun pintu.
Dan pada saat itu juga aku baru menyadarinya.
"Oh, kamu," ia tersenyum saat melirikku sebelum berlalu meninggalkan koridor ini.
Aku lupa menanyakan namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
雨の少女(Ame No Shoujo), The Girl in Rain.
Ficção AdolescenteSemenjak sore di tengah hujan itu, aku perlahan melepas kendali hidupku yang semula statis. Release: 1-2 Monthly Chapters Cover: chris4708 ( http://www.pixiv.net/member_illust.php?mode=medium&illust_id=44910586 )