Amplop itu

114 7 0
                                    

       H-27 menjelang ujian akhir....

       Pukul 11 malam. Merasa terkejar deadline pengumpulan tugas, aku memutuskan untuk tidur lebih malam dari biasanya.

        Sebelumnya aku membuat segelas kopi untuk menyegarkan tubuhku dan memutuskan bermain keyboard. Jadi, apa sekarang?

         Aku menyalakan handphone, memutar beberapa lagu pop-classic, mencari inspirasi. Kemudian, memutar beberapa musik klasik legendaris. Entahlah, aku selalu terpukau dengan lagu Fur Elise milik Beethoven.

          Pintu terketuk tiga kali. Tiba-tiba bulu romaku berdiri. Aku tak bergerak dari kursiku.

          "Elisa....." sebuah panggilan dari luar terdengar. Pintu kembali terketuk.

           Aku memandang ke jendela kamar. Angin berembus membekukan. Sejak kapan jendela terbuka? Dengan perasaan takut dan penasaran, aku membuka pintu. Namun koridor gelap dan kosong.

           Aku tertawa tanpa alasan, menghibur diri. Tak ada orang yang mengetuk pintu segini. Lagipula kurang kerjaan sekali kalau Hanya ingin menakut-nakuti aku.

           "Elisa?" Panggilan itu membuatku sontak berbalik, mencari arah sumber suara.

           Ada seorang lelaki di kursi keyboardku. Wajahnya pucat pasi seperti mayat. Kepalanya miring ke kanan. Dia duduk di kursi dengan seragam SMP penuh darah sambil bergoyang ke depan dan belakang, tersenyum ke arahku seraya memeluk kotak milikku. Mengelusnya, kemudian tertawa kecil. Dia......

           "Elisa...."

            Aku menggedor pintu kamar Dhea panik. "DHEA!" Aku lupa mengunci kamar atau apa pun. Dan semalam itu aku benar-benar tidak bisa tidur.
          

Fur ElisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang