Tiga

10 3 1
                                    

Author

Sudah seminggu berlalu tetapi kiriman bunga tidak kunjung berhenti. Dari yang berbentuk bunga keranjang hingga bouquet bunga tak henti-hentinya terdampar di rumah Brianna.

Suatu pagi, Bryan menerima salah satu kiriman bunga tersebut. Serta membaca suratnya. Hingga kini dia masih bertanya-tanya masalah apa yang terjadi di antara adik dan teman adiknya itu. Sampai detik ini Bryan memilih bungkam dan membiarkan Brianna atau Ivan yang akan bercerita sendiri.

Hari-hari mendekati ujian proposal skripsi, Brianna tampak letih dan sedikit kurus. Lima hari lagi ia akan menghadapinya. Brianna semakin sibuk dan tak jarang menolak ajakan para sahabatnya hanya untuk sekedar nongkrong melepas penat.

Hari ini dia berkunjung ke kantor Bryan hanya untuk bermain dan melepas rindu. Bagaimana tidak melepas rindu. Bryan baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya yang memakan waktu lima hari. Memang mereka bisa bertemu saat di rumah tetapi setiap hari Bryan selalu berangkat awal dan pulang larut semenjak kembali dari perjalanan bisnis itu.

"Mbak.. Abang di dalam?" tanya Brianna pada sekertaris Bryan, Juli.

"Eh mbak Brianna.. Tumben disini mbak? Bapak di dalam mbak" jawabnya canggung.

"Kalau jam kerja ya kerja jangan main sama dandan mulu" cibir Brianna dan berlalu dari hadapan Juli.

"Ck.. untung adeknya si bos. Kalau nggak udah gue sumpel tuh mulut" dumel Juli.

Ceklek..

"Loh.. Tumben kesini? Ada apa?" tanya Bryan saat dia mengetahui siapa yang membuka pintunya tanpa permisi.

"Gak boleh ya? Yaudah Bri pulang aja" ucap Brianna yang hendak pergi namun urung karena cegatan Bryan.

"Ya ampun gitu aja marah. Becanda tauk. Sini duduk abang kangen sama kamu" sambil menggandeng dan menuntun Brianna di sofa bernuansa gelap.

"How's your day?"

"Not bad at all" jawab Brianna lesu.

"Why? Something wrong?"

"Nope.. Just tired"

"Jangan terlalu sama badanmu dek. Badan sama otak mu juga butuh istirahat. Abang tahu kalau kamu lagi siapin buat ujian proposal skripsi, tapi kamu juga harus tahu kapasitas tubuhmu"

"Hmm.. Kayak situ enggak aja. Malah situ yang lebih gila sama kerjaan" protes Brianna

"Kamu tuh ya abang ngomong bijak malah di protes. Abang kan cowok jadi abang ngerti kapan harus berhenti kapan enggak. Lah kamu? Dari bangun sampe tidur lagi di perpustakaan terus. Gak capek tuh mata?"

Haah.. Terdengar helaan besar dari Brianna yang menandakan telinganya sudah panas menerima itu semua.

Bryan yang mendengar helaan besar dari Brianna, dia hanya bisa berlalu dan kembali berkutat dengan kertas-kertas di atas mejanya.

Sudah sejam Brianna berada di kantor Bryan. Sejam itu pun dia membantu mengurus keuangan kantor. Brianna yang suka sekali berkutat dengan uang yang tak terlihat membuat dia menemukan mainan baru.

Brianna melangkahkan kakinya keluar ruangan Bryan. Mereka berencana untuk makan siang bersama dan langsung kembali ke rumah karena Bryan sudah tidak ada urusan lagi di kantor.

Setibanya di restoran favorit Brianna, mereka langsung masuk dan duduk di pojokan dekat jendela. Nuansa klasik resto dan makanan yang khas membuat Brianna menyukai tempat ini. Tak selang berapa lama mereka memesan makanan dan mengobrol sana-sini dengan topik random.

Setelah menunggu 15 menit, makanan mereka pun tiba. Mereka makan dengan hening hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar.

"Dek.. Abang mau nanya boleh?" ucap Bryan yang sudah tidak tahan atas ke kepoannya.

"Tanya aja gapapa kali. Biasanya juga gak pake nanya boleh atau ngga" jawab Brianna selagi minoring steaknya.

Terdengar helaan napas dari Bryan "Kamu ada masalah sama Ivan?"

Deg..

Mendengar pertanyaan itu, Brianna yang tadinya fokus dengan steaknya mau tak mau menghentikan aktifitasnya. Brianna yang sudah sedikit melupakan kejadian itu, sedikit demi sedikit ingatan tersebut muncul akibat satu pertanyaan yang keluar dari mulut abang kandungnya.

"Dek. Kok malah bengong. Kalau gak mau cerita juga gapapa. Abang gak maksa kok" ucap Bryan sambil mengelus tangan Brianna yang berada diatas meja.

Dengan hembusan napas kuat Brianna mulai bercerita. Dari kejadian dia berada di kantor Ivan, bertemu dengan pacar Ivan hingga terjadi penamparan di pipi Brianna. Brianna menceritakan hingga detail tanpa mengurang dan melebihkan cerita itu.

Bryan yang hampir memecahkan gelas yang ada di sampingnya karena emosi, sempat di tahan oleh Brianna. Ini salah satu masalah yang dia paling tidak ingin salah satu keluarganya tahu, termasuk Bryan.

Tidak ada satu pun anggota keluarga Soesetyo yang menjelek-jelek kan anggota keluarga satu dengan yang lain.
Brianna takut Bryan akan menghajar Ivan hingga terkapar, maka dari itu Brianna berusaha untuk menyimpan masalah ini sendiri dan mencoba sebisa mungkin menerima bunga yang terus berdatangan setiap paginya.

"Udah gak usah emosi bang, adek gapapa kok. Adek udah lupain semuanya kok. Soal bunga maaf kalau lama kelamaan ganggu, biar nanti adek ngomong ke Ivan"

"Boleh gak sih abang ngehajar dia? Punya pacar kok mulutnya gitu. Keknya pacarnya gak pernah sekolah. Nemu dimana sih cewek kek gitu"

Mendengar omelan Bryan mau tak mau senyuman merekah terbit di bibir ranum Brianna.

"Nah gitu dong senyum. Jangan murung mulu wajahnya. Ini baru Brianna beng-beng" ucap Bryan dengan mengelus puncak kepala Brianna.

Benda mungil Brianna bergetar. Dengan sigap Brianna melihat benda tersebut. Setelah mengetahui siapa pengirim dan isi pesan itu, Brianna hanya bisa menghela napas.

Bryan yang mengetahui pun bertanya dengan raut wajahnya dan Brianna langsung memperlihatkan pesan tersebut.

From:: Unknown
Sorry udah lancang dapat nomormu. Maaf kalau selama ini aku menyakitimu. Aku senang kamu bisa tersenyum lebar. Tersenyum terus ya Bri, kamu manis.

Ivan.

"Hmm.. Saran abang sih, temuin aja dia. Selesaikan baik-baik. Tuh orangnya di belakangmu"

Dengan terkejut Brianna langsung menoleh ke belakang dan menemukan sosok tinggi, tampan yang sedang berdiri tidak jauh dari meja mereka.

"Udah sana. Abang nunggu di mobil dulu. Selesaikan semuanya kasian anak orang ngirim bunga mulu" ucap Bryan yang langsung meninggalkan mejanya dan berjalan melewati Ivan dengan menepuk pundaknya.

Ivan sudah berada di depan Brianna selama 10 menit, tetapi keheningan masih menyelimuti mereka.

"Uhhmm.. Bri, maaf atas kejadian yang lalu. Aku bener-bener gak tahu kalau Stella sampai lancang nampar kamu. Aku minta maaf sekali lagi Bri"

Helaan besar keluar dari mulut gadis manis ini.

"Iya aku maafin kakak. Tapi tolong jangan kirim bunga atau chat lagi. Aku mau kita gak usah ketemu lagi. Aku harap kakak ngerti posisiku. Aku permisi"

"Tapi Bri.."

Brianna sudah meninggalkan Ivan tanpa mendengar lagi kata-kata Ivan. Cukup. Satu kata itulah yang ingin Brianna tekan kan dalam hidupnya. Cukup sudah pertemuan dengan Ivan. Cukup sekali saja Ivan melukai hati dan fisiknya.

Brianna menemukan Bryan yang sedang bersandar di mobilnya. Bryan yang mengetahui suasana hati dari raut muka Brianna, langsung saja ia mengikuti Brianna yang sedang membuka pintu, dan setelahnya Bryan melajukan mobilnya tanpa sepatah kata.
.
.
.
.
.
.
.
Maaf cuman sedikit updatenya, lagi sibuk nyekrip ehehe👌
.
.
Happy reading
Sorry for typos
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak
.
.
Big love, ghe💕
17:24
230519

Sweet Talk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang