Pada suatu pagi di bulan September...
Udara terasa sejuk, dedaunan kering berguguran dimana-mana. Musim gugur adalah waktu yang paling kusukai. Memang seringkali daun-daun yang berserakan dimana-mana terasa merepotkan. Namun, menurutku pemandangan terlihat indah di musim gugur. Menyejukkan dan menenangkan, membuat hati terasa tentram. Namun, pagi ini akan terasa menegangkan untukku.
Kulangkahkan kakiku menuju gedung yang sekarang berada di hadapanku. Gedung ini adalah sebuah sekolah, dimana aku akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Oh ya, aku adalah gadis berusia empat belas tahun dan namaku adalah Phoebe Aindreas. Nama yang sedikit aneh, bukan? Awalnya aku pun tidak suka dengan nama ini. Namun, setelah aku mencari tahu apa arti dari nama anehku, barulah aku menyukai namaku. Namaku memiliki arti yang bagus.
Aku akan mengikuti tes masuk ke sekolah ini. Banyak yang mengatakan bahwa tes untuk masuk ke sekolah ini sungguh berat dan sulit, karena sekolah ini adalah sekolah favorit. Tapi, ayah dan ibuku selalu meyakinkanku dan mendukungku untuk mengikuti tesnya dan tak henti-hentinya ibuku mengingatkanku untuk belajar dengan giat.
Masih jam enam lewat dua puluh menit, gumamku. Aku datang terlalu awal. Gedung ini masih terlihat sepi, hanya ada satpam dan sedikit peserta tes yang baru datang. Tes dimulai jam tujuh tepat.
Aku mondar-mandir mencari di ruang mana aku ditempatkan. Seorang satpam pun mendatangiku.
"Nak, kalau mau lihat info penempatan ruang, sudah ditempel di sebelah sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah jam dua dari posisiku.
"Terima kasih banyak, Pak," balasku sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Sama-sama. Semoga beruntung dalam mengerjakan tesnya, ya," lanjutnya.
Aku mengacungkan jempol dan berjalan menuju arah yang ditunjuknya.
- Jam tujuh kurang sepuluh menit -
Aku sudah meletakkan tas di bangku yang sudah ditetapkan sesuai nomor peserta. Aku berdiri di balkon-berhubung ruang ujian terletak di lantai dua-memperhatikan para peserta yang berlalu-lalang. Ada yang sibuk membaca buku, mengobrol dengan temannya, membahas materi, ada yang bergerombol dan tertawa-tawa. Aku hanya melamun memperhatikan mereka dan pemandangan sekolah ini.
Aku tidak mengenal siapapun di lorong ini, karena hanya sedikit teman-teman lamaku yang melanjutkan ke sekolah ini, dan mungkin mereka tidak ditempatkan di ruangan yang terletak di lorong ini sehingga aku tidak dapat menemukan mereka.
Aku memperhatikan sebuah gerombolan berisi tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka sepertinya sedang membahas materi yang kira-kira akan diujikan sambil tertawa bersama-sama, entah apa yang membuat mereka tertawa.
Namun, seseorang menarik perhatianku.
Bukan, bukan karena wajahnya yang tampan. Malah menurutku ia terlihat biasa saja.
Entahlah, dia hanya terlihat menarik.
Tubuhnya tinggi semampai, agak kurus, dan kulitnya sedikit kecokelatan. Ia memakai jaket berwarna hitam. Di kedua bahunya terlihat bahwa ia membawa sebuah ransel berwarna hitam pula. Di tangan kanannya, terdapat map dan buku-buku catatan.
Saat aku sedang asyik memperhatikannya, dia tiba-tiba melihat ke arah lain.
Entah apa yang dia lihat, dia memandang ke arahku.
Aku pun menoleh ke arah lain dan berpura-pura sedang menghafalkan rumus.
Bel pun berbunyi. Semua anak berjalan cepat-cepat menuju ruangan masing-masing, bahkan ada yang sampai berlari-lari kecil. Untung saja aku berdiri tidak jauh dari ruanganku.
Aku berjalan gontai menuju Ruang 9, dimana aku ditempatkan. Namun, seseorang menabrakku dengan cukup keras.
"Eum.. Sorry, aku buru-buru," katanya.
Aku mendongak.
Tidak...
Dia orang yang sejak tadi kuperhatikan.
Orang itu melemparkan senyum canggung. Aku pun membalasnya dengan senyuman tipis.
"Duluan, ya," kataku sambil berjalan meninggalkannya.
Saat aku memasuki pintu Ruang 9, aku melirik ke arahnya tanpa menolehkan kepala. Sekadar mencuri-curi pandang. Ternyata ia masih berdiri disana, tersenyum tipis sambil menggaruk-garuk lehernya.
- Jam 11:00 di Ruang 9 -
Bel berbunyi dua kali berturut-turut, menandakan bahwa tes telah selesai. Aku bisa mengerjakan pelajaran eksak dengan cukup baik, namun aku merasa begitu kesusahan di pengetahuan umum. Aku hanya bisa mengharapkan yang terbaik.
Setelah membereskan barang-barangku, aku pun keluar dari ruangan itu. Aku sempat terpikir untuk mencari orang tadi, yang menabrakku itu. Aku ingin tahu siapa namanya.
Aku berjalan mengelilingi lorong dan menoleh kesana-kemari mencari dirinya. Namun, hasilnya nihil.
Aku pun melupakan saja keinginanku untuk berkenalan dengannya dan segera pulang. Bahkan rasanya aku sudah tidak terlalu penasaran dengan laki-laki tadi.
YOU ARE READING
Broken Tie
Teen FictionDia orang yang memberi berbagai warna ke dalam keseharianku yang terasa menjemukan. Dia menjadi salah satu alasan mengapa aku berharap diberi kesempatan untuk menghirup udara segar pada esok hari. Dia memang tidak bisa mengubah seluruh dunia, namun...