Satu

834 41 0
                                    

Beth menghampiri mejaku dengan langkah yang pasti meski sempat ia tunjukkan paras terpaku di ambang pintu. Aku tersenyum canggung meski kupikir dialah yang seharusnya tersenyum canggung. Beth memang selalu bisa membuat segalanya terbalik. Atau barangkali aku yang selalu salah memposisikan diri. 

"Apa kabar? Gila, udah lama banget, ya." senyumnya merekah.

"Eh, bentar-bentar taruh barang dulu di belakang. Lo masih lama, kan? Lo mau pesen yang lain gak? Gue punya menu baru. Mau sekalian nyobain gak?" 

Beth meluncur begitu saja meski aku masih terdiam di tempatku tanpa anggukan atau tanda persetujuan lainnya. Tapi ia benar. Aku memang berencana menghabiskan hariku di tempat ini--tadinya. Bolu pisangku juga belum habis. Aku juga sedikit banyak penasaran dengan menu baru yang ia tadi sebutkan. Aku yang tadinya mau mengomentari bolu pisang yang sedang kumakan, langsung mengubah haluanku. Rasanya, aku tak mau mengomentari apa-apa dari menu milik Beth. Beth selalu presisi memperhitungkan segala komposisi. Ia tak pernah asal-asalan dengan semua jumlah yang tertakar dalam adonan yang ia buat. Semuanya pasti ada alasannya. 

Kupikir Beth akan lama menyiapkan menu barunya. Kuraih ponselku dan langsung kutelfon Bella. Tiba-tiba terdengar lagu Tulus sebagai NSP alias Nada Sambung Pribadi. Seketika aku ingin tertawa. Ternyata di zaman sekarang masih saja ada yang menggunakan NSP.

Sudah sewindu, ku didekatmu, ada di setiap pa.........

"Ya? Kenapa, Mil?" Sapanya di ujung sana.

"Sejak kapan lo pake NSP? Lagu Tulus lagi." ejekku.

"Itu gratiiiiissssssssssss bukan gue yang pengen, anjir. Gimana, sih, cara non-aktivinnya?" 

"Mana gue tau. Hahahaha."

"Eh, kenapa lo telfon? Tumben banget. Udah jadi ke toko kue rekomendasi gue?" tanyanya. Ini dia. 

"Nah. Lo kok gak bilang, sih, ini punyanya Beth?" Tanyaku agak kesal. Kelucuan NSP tidak lagi membuatkesalku membaik.

"Hmm...Lo ketemu Beth di sana?" Tanyanya dengan suara agak rendah dan pelan. Aku tahu ia mungkin agak merasa bersalah.

"Ya menurut lo?" 

"Gini, gue masih di kantor ini. Kelar dari kantor gue samperin kalian, ya? Sekitar 4 jam lagi."

"Yang bener aja? Gak. Gak usah. Lo ke sini kayaknya gue juga udah balik. Gue harus bilang apa sama dia selama 4 jam?????" 

"Ya, lo ngobrolin kue, kek. Apa, kek. Lo curhat tentang si bajingan Tora itu aja. Atau lo selesaain hal-hal yang dulu kalian belum selesain." Bella mengatakan semua itu dengan ringan. Dia memang sahabat paling menyebalkan.

"Lo ini sengaja, ya?" Tanyaku dengan (masih) kesal.

"Iya. Gue minta maaf. Tapi gue rasa udah waktunya aja kalian ngobrol lagi. Mumpung Beth lagi di Bandung."

"Bentar, lo jadi udah tahu kalau Beth di Bandung?"

"Ada bos gue matiin dulu maafin gue ya nanti gue susul." kata-katanya tanpa titik dan begitu cepat ia mematikan ponselnya. Sepertinya bos garangnya memang muncul. Aku masih kesal. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak bisa menghilang begitu saja sedangkan Beth menyiapkan sesuatu untuk kucicipi di belakang sana. Maksudku, aku bisa, tapi aku tidak mau lagi-lagi lari dari masalah ini. Kupikir Bella ada benarnya. Memang ada yang harus kuselesaikan dengan Beth.

Beth meninggalkanku agak lama. Kupikir ia membuat menu yang ia bilang baru itu. Bolu pisangku tentu saja sudah tandas. Ada beberapa pelanggan lain yang mampir ke toko kue ini selama aku menghabiskan boluku sambil menunggu Beth hadir dengan menu barunya. Dua pekerja yang tadi disapa Beth melayani dengan baik. Tidak terlalu sok asik, sepantasnya pelayan yang merekomendasikan pilihan-pilihan kue yang ada kepada pelanggan. Apakah pelanggan mencari yang asin? Ataukah yang manis? Atau mencari menu gluten-free? 

Meski bolu pisangku habis, kuharap masih ada waktu yang Beth butuhkan untuk menyiapkan menu barunya. Aku tak keberatan menunggu lebih lama. Aku masih bingung harus memulai percakapan dengan Beth dari mana. Apa aku harus memulai dengan permintaan maaf? Tapi aku belum siap juga untuk membahas alasan hilangnya kami dari hidup masing-masing. Apa kuceritakan saja kisah tentang bagaimana mantan tunanganku mengkhianatiku? Tapi itu terlalu personal--meski sebelumnya kami biasa membicarakan tentan hal-hal personal bahkan membicarakan soal kentut masing-masing.

Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjadi akrab lagi setelah saling menghilang dengan sengaja. Aku mencoba menyusun apa saja yang ingin aku sampaikan pada Beth. Tentang Morsel, tentang Yunan, tentang kabar-kabar yang terlewatkan.

Beth muncul dari 'belakang', membawakanku sepotong kue yang terlihat seperti pie. 

"Tada! Chocolate Peanut Butter Popcorn Pie." Katanya.

Aku selalu suka bagaimana seseorang yang total dengan hal yang ia sukai. Beth memang selalu terlihat seluruhnya di depan kue-kue yang ia buat. Segerombol popcorn peanut butter menyatu menjadi 'wadah' dari cokelat yang membeku. 

"Ini bikinnya dadakan?" Tanyaku.

"Nggaklah. Hehehe. Tadi gue bikin menu satu lagi yang baru. Lagi dipanggang. Ini gue bikin kemarin. Belum mau masuk menu soalnya masih nyari taster. Pas banget ada lo."

"Gue cobain, ya."

Manis. Seperti yang kubilang, aku hanya bisa menyimpulkan rasa dari kue-kue buatan Beth dengan general. Aku bisa saja mengomentari ini dan itu dari bakery orang lain. Tapi tidak dengan buatan Beth.

"Gimana?" Parasanya penasaran menantikan komentarku.

"Lo cuman perlu keberanian buat ngejual ini, sih, Beth." Kataku setelah menelan satu suap popcorn pie itu.

"Kalau gitu, harganya berapa kira-kira?" Tanyanya dengan parasa yang tak kalah penasaran.

Aku tertawa menanggapi pertanyaannya.

"Hahahahahha. Ini kan lo yang mau jual kenapa gue yang nentuin harganya?" ia terkekeh menanggapiku.

"Lo emang gak berubah, ya, dari dulu!" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.

Beth ikut tertawa terbahak.

"Lo juga gak berubah dari dulu. Kecuali rambut lo jadi merah kayak Lady Bird." Tanggapannya begitu hangat. Aku tak pernah menyangkan tawa diantara kami akan muncul lagi seperti dahulu. 

Mungkin, bagi beberapa orang, kehilangan kekasih bisa begitu menyakitkan. Tapi bagiku, yang lebih menyakitkan dari itu adalah kehilangan seorang sahabat. Kini, sahabat yang telah hilang itu muncul lagi di hadapanku. Aku tak pernah menyangka bahwa tawa antara kami akan muncul seperti biasa bagaimanapun dahulu kami sama-sama hilang karena suatu pertikaian. 

Apa lo betulan udah maafin gue, Beth?


Sumber gambar: Tasty.co

MorselWhere stories live. Discover now