Saat gelap datang, saat malam hendak menyergap, semua orang akan menyalakan lampu menyambut sekaligus meniadakan kegelapan. Saat semua lampu—yang banyak—menyala dalam satu waktu, adalah satu waktu yang paling aku suka dari kegelapan. Saat itulah pikiranku mulai pergi berkelana ke tempat-tempat yang pernah kudatangi dan kualami, dengan orang-orang yang penah kukenal, dari yang bukan siapa-siapa, menjadi yang nomer satu, sampai bukan menjadi siapa-siapa. Aku sengaja menggantung banyak lampu di halaman kecil dari toko kueku agar aku bisa menikmati momen itu setiap hari. Toko kueku tutup pukul 6 sore, jadi sebelum beres-beres, aku biasa duduk di kursi halaman toko kueku sambil menyaksikan momen yang kusuka itu.
Bono sudah tahu kebiasaanku. Sebelum tutup, sekitar pukul 17.30, Bono selalu membuatkanku teh. Sebetulnya aku tidak memintanya, tapi pada suatu sore di minggu pertama kami membuka toko kue ini, Bono tiba-tiba menyodorkanku secangkir teh. Entah itu teh apa. Bono memang kubebaskan untuk membuat kue sekaligus mengeksplore racikan teh apapun itu.
"Nih! Cobain teh gue."
"Teh apaan, nih?"
"Udah cobain aja dulu. Enak tuh ngeteh sore sambil ngelamun."
"Gimana tadi ketemuan sama sobat lamamu itu?" Bono bertanya santai sambil mengenggamcangkir tehnya. Bandung memang sedang dingin belakangan. Teh hangat buatannya cukup membuat hangat tubuh merasa enak.
Dari sanalah, tiap aku melakukan ritual menonton-semua-lampu-menyala, tiap itu pula Bono menyeduh teh racikannya—entah apa. Bono tak pernah menanyakan mengapa aku begitu menikmati saat lampu-lampu itu menyala. Atau mengapa aku selalu meluangkan waktu hanya untuk menikmati momen sederhana itu. Rasa ingin ikut campurnya sebatas membuatku nyaman dengan teh yang ia buatkan.
Suatu hari, di bulan ke 3 toko rotiku berjalan, juga teh-teh itu ia buat dan kunikmati, Bono membuat dua gelas di nampannya.
"Boleh gue ikutan?" Tanyanya.
Aku sedikit kaget. Tapi kuanggukkan kepalaku setelah beberapa detik aku bengong dengan momen langka ini.
Bono duduk tanpa memulai pembicaraan yang basa-basi.
Bono bisa saja membahas tentang bagaimana perkembangan bisnis toko roti, atau racikan teh baru yang ia kembangkan sendiri, atau arti filosofis dari teh-teh yang ia tahu. Bono bisa saja membuatku pergi dari lamunan-lamunan tak berguna yang selalu kupikirkan setiap hari. Tapi ia tidak. Ia hanya duduk di sampingku dengan diam sambil sesekali menyeruput tehnya meski pertanyaan terakhirnya tak kujawab. Ia memandang langit yang bahkan tak sama sekali cerah. Saat itu, langit begitu mendung dan hujan mulai menguasai ruang diantara langit dan dataran.
Aku yang tak terbiasa dengan keberadaannya di bangku sampingku, malah menjadi heran.
"Lo kenapa? Tumben amat ikutan gue ngelamun." Kataku.
"Mantan gue pernah bilang kalau ngelamun, telomer di gen yang lo punya akan semakin banyak. Katanya semakin banyak telomer di gen, semakin pendek umur kita." Ia menjelaskan sambil menyeruput tehnya.
"Mantan lo anak kedokteran?"
"Mantan gue anak farmasi. Sama kayak lo. Cuman dia sekarang kuliah lagi ke Belanda."
"Jadi lo lagi kangen mantan?"
"Tadinya, enggak. Tapi liat lo ngelamun gue jadi inget apa yang dia bilang. Gue akan selalu percaya sama apa yan dia bilang meski gue mungkin harusnya ngecek beneran apa enggak apa yang dia bilang. Apalagi kalau udah soal sains."
"Bilang aja iya, elah. Belibet banget ngaku kangen doang."
"Masalahnya, kangen tuh gak sesimpel itu. Kayak lo aja sekarang. Lo ngelamunin apaan coba sampe kayak ibadah gitu tiap hari dan rutin dan di waktu yang sama?"
Aku tersenyum. Ada benarnya juga. Yang kulakukan selama ini sebetulnya adalah ekpresi dari rasa rinduku pada beberapa orang yang pernah ada di hidupku. Aku meri dukan mereka dan lampu-lampu itu benar-benar membuatku bertanya-tanya: bagaimana jika aku tak menghilang? Bagaimana jika aku mengesampingkan egoku saat itu? Bagaimana jika tak kubuat Beth tak lagi mempercayaiku? Bagaimana jika...
"Gak kok gue gak akan maksa lo cerita. Gue cuman mau ikut gabung aja. Bikin DNA jadi telomer gak seburuk itu, kok. Lagian hidup sampai tua gak serta merta membuat manusia jadi orang baik." Beno menyeruput lagi teh di gelasnya.
"Lo lagi kangen mantan." Ujarku. Sambil tertawa kecil.
Bono tersenyum getir, "Apasih, anjir!"
Kami kemudian tertawa. Ritual itu terus berjalan setiap hari. Kadang Bono ikut bergabung, kadang aku sendiri. Tapi teh itu selalu hadir. Aku jadi khawatir, apa Bono memang terlalu baik, atau Bono hanya menjadikanku kelinci percobaan untuk mencicipi resep tehnyanyang sejujurnya tak pernah kumengerti apa beranya.
Kita sama-sama tenggelam dalam isi kepala masing-masing. Aku dengan tantangn Beth saat pertemuan tanpa persiapan lahir batim itu ada terjadi ban Beno dengan entah apa.
Aku tenang dan gelisah dalam waktu yang bersamaan. Kuambil sebatang rokok, mengisapnya seolah itulah satu-satunya cara relaksasi yang cukup membantu.
Aku tak pernah tahu apa yang ada di pikiran Beth. Tapi kupikir, aku pun tak punya pilihan lain selain menerima tamtangannya.
Badanku lemas sekali. Teh Beno memang manjur untuk relaksasi. Mataku berat. Aku ingin tidur. Lahipula tidur bisa mempersingkat waktu.
YOU ARE READING
Morsel
General Fiction"Ada bagian kecil yang selalu kamu lupa. Kamu mudah menyepelekan sesuatu hingga ternyata hal kecil itu bisa membuat kamu kehilangan segalanya." Ia berlalu, membuatku terpaku. Sore itu, tak ia habiskan sepotong roti kesukaannya. Ia biarkan potongan i...