b

18 3 0
                                    

Hay let me love you balik lagi...
Jangan lupa vote dan komentarnya ya biar author nya lebih semangat dalam berkarya...
.

.

.

Happy reading..

Mata Tara menatap awas pada sekelilingnya. Kepalanya bergerak menoleh ke kanan lalu ke kiri sebelum menarik beberapa bangku sekolah yang sudah tak layak pakai.

Bangku itu ia tata berjejer dari yang paling rendah hingga ke paling tinggi sebelum menaikinya.

Hampir.

Hampir saja Tara ada di ujung tembok tinggi. Hampir saja ia berhasil menaiki tembok belakang sekolah, tapi sayang karena tembok yang sudah sedikit berlumut membuat kaki Tara terpeleset dari pijakannya.

“Akhh... “ jerit Tara sambil menutup matanya. Tapi ada yang aneh.. kenapa ia tak merasa sakit karena jatuh.

Perlahan ia buka kedua matanya dan detik itu juga setelah matanya terbuka wajah Davi ada disana. Tepat dihadapan wajah Tara.

“Apa kamu melupakan pertemuan pertama kita Tara?” tanya Davi membuat kening Tara bertaut.

Sebelum Tara menyela ucapan Davi, bayangan laki-laki itu perlahan menghilang tergantikan oleh suara mama yang samar-samar mulai ia dengar.

Biar Tara meralat ucapannya.

Pertemuan awal ia dan Davi bukan saat malam hujan itu. Tapi pertemuan itu terjadi saat ia mencoba membolos lewat tembok belakang sekolah.

Kejadiannya sama persis seperti yang terjadi barusan. Hanya saja bedanya di awal pertemuan itu Davin bukan berkata “apa kamu melupakan pertemuan pertama kita Tara?”

melaikan ia mengejek aku habis-habisan.

Yang katanya aku  Anak males lah, pecundang lah.. siswi gak punya tujuan hiduplah.. apaan coba dia sendiri ngapain main ke Deket tembok belakang sekolah yang sepi kalo bukan mau lompat pager juga. Apa dia itu gak punya kaca ya?

Pemikiranku dulu.

Namun semua pemikiran itu menguap entah kemana saat suara mama kembali samar-samar terdengar.

Aku membuka mataku, rasanya ngilu tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali bangun. Tubuhku terasa hangat.

Bau mama yang sangat khas tercium oleh hidungku. Mama menangis sambil memeluk tubuhku erat.

“Ma-ma..” ucapku serak rasanya tenggorokanku sakit “mama Tara gak apa, Tara baik-baik aja”

Mama menatap wajahku, lantas mengusap lembut kepalaku. sangat lembut seperti kepalaku akan hancur saja bila ia menekan terlalu kuat.

“maafkan mama Tara. Mama belum bisa menjadi ibu yang baik.”

Kulihat air mata mama meluncur dari manik hitam pekat itu.  Entah mengapa aku ikut sesak mendengar perkataan mama.

Seharusnya aku yang meminta maaf padanya. Harusnya aku yang berkata maaf karena belum bisa menjadi anak yang baik, yang menjadi kebanggaan mama dan membahagiakan mama.

Sungguh kejadian ini membuat aku sadar bahwa Tara yang selama ini hidup bahkan belum pernah mengukir kebahagiaan untuk mama.

Entah perasaan Tara saja atau bagaimana Tara merasa sangat merindukan mama. Rindu wajah mama saat tersenyum, marah dan berbagai ekspresi lain. Tara rindu pelukan hangat ini, rasanya Tara gak ingin pelukan ini lepas.

Mama mengurai pelukannya.

Membuat aku sedikit sebal tapi sebal itu menghilang Kala air mata mama kembali meluncur.

“Tara gak papa mama hanya sedikit terbentur tapi gak masalah kok, mama gak usah nangis gitu donk, ini juga gak sakit kok.”ucapku pelan tapi mama masih saja menangis.

“mama udah jangan nangis, kalo mama nangis itu buat Tara makin sakit loh.”

Mama mengangguk sambil menghapus air matanya kasar. “ Tara sayang, sabar yah, setelah semua ini selesai kita akan pulang. Mama akan menunggumu dirumah. Kamu akan segera istirahat deng-“

Aku tak dapat mendengar suara mama dengan jelas karena tiba-tiba ada keributan diluar pintu ruanganku yang langsung mengalihkan perhatianku. Tak lama setelah itu mama mencium keningku lama sebelum meninggalkanku keluar ruangan.

Aku melihat beberapa polisi melewati kamarku sesaat sebelum pintu kembali ditutup oleh mama.

Polisi? Tunggu untuk apa polisi kemari? Pikirku. Aku merasakan dingin menjalar ujung kaki dan tanganku.

Segala pikiran buruk berterbangan bagai lalat yang merubung bangkai. Tapi pemikiran buruk yang paling kuat membuat setetes air mataku mengalir.

Apa Davi selamat dari kecelakaan itu sama sepertiku?”

##

“ Keadaan saudara Davian Bimantara lumayan parah. Tulang rusuk kirinya patah, tulang hasta kirinya retak dan ada gagar otak ringan yang membuat ia tak sadar hingga saat ini. Tapi tak perlu khawatir tim kami akan melakukan yang terbaik untuk membuat kondisi saudara davian segera membaik.”

Aku menatap dokter dihadapanku tanpa berbicara lagi. Tadi setelah mama pergi aku memutuskan untuk keluar dari ruang rawat.

Dengan mendorong tiang infus aku membuka pintu kamarku namun aku langsung disambut dengan dokter tampan bername tag Satria Wiratama yang berdiri disamping ruang rawatku.

Ia menatapku dan tak lama kemudian mengatakan dengan jelas kondisi Davi tanpa kutanya.

Aku tak bisa berkata lagi. Dengan segera aku melangkahkan kakiku  kearah ruangan Davin berada. Meski pusing yang kurasa membuatku merasa berjalan tanpa menginjak tanah aku tetap melakukannya untuk dapat melihat kondisi Davi.

Dengan tangan sedikit bergetar aku membuka pintu ruangan yang kuyakini adalah ruangan Davi. Udara dingin dari AC yang bekerja menerpa tubuhku. Suara mesin cardiograf menjadi Backsong pertemuan pertamaku dengan Davi setelah kejadian itu.

Kulihat Davi tertidur dengan lelap. Tak ada ekspresi kesakitan Disana. Dadanya dibebat. Kepalanya juga.  Baru kali ini kulihat daviku tampak tak berdaya.

Setetes air mata mengalir di pipiku, lantas kemudian disusul dengan dengan tetes-tetes selanjutnya.

Kudekati tubuh Davi yang terbaring di ranjang. Kusentuh dadanya yang tengah dibebat.

“ini pasti sakit.”

Sejenak kuusap air mata yang membuat pipiku gatal. “itu sebabnya kan kamu gak bangun.

Itu sebabnya juga kan kamu gak mau buka mata buat liat aku.

maafin aku ya dav,  maaf udah lepasin pelukanku waktu itu. Tapi aku janji setelah ini aku akan ada disamping kamu terus. Aku bakal jadi orang pertama yang kamu liat saat kamu bangun. Aku akan nemenin kamu disini. Selalu disamping kamu. Aku janji”

let me love youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang