strange

36 2 0
                                    

"Aku ... entahlah, mungkin aku punya perasaan lebih ...."

.

.

.

.

.

Jika tanpa sengaja ingat kalimat yang ia sendiri katakan beberapa hari lalu selepas latihan seperti biasa tersebut, Koki selalu ingin membenturkan kepalanya keras-keras pada tembok kamar sampai memorinya pecah, kalau bisa ia tidak usah ingat apa-apa lagi. Koki selalu merasa ingin terbang ke angkasa luas dan menjadi titik cahaya, atau tenggelam ke dasar lautan hingga berubah menjadi buih. Ia tidak ingin kembali lagi.

Kau tahu, rasanya memalukan.

Entah tentang lidahnya yang tiba-tiba melontar rangkaian kata tersebut tanpa Koki perintahkan terlebih dahulu; entah pula tentang bagaimana waktu itu Wataru cuma berkedip sekali sebelum mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering, kemudian bergegas pamit pulang lebih dulu tanpa memberi reaksi apa-apa terhadap pernyataan yang Koki kemukakan padanya seolah-olah itu adalah hal paling mengerikan dan ia tengah sengaja menghindar.

Namun, yang lebih membuat Koki semakin ingin segera lenyap dari dunia ini adalah, satu buah chat dari Wataru pagi-pagi, di sebuah Hari Minggu yang lumayan cerah ketika ia masih berasumsi bahwa Wataru pasti akan menghindar, atau yang lebih parah, tidak mau bicara lagi padanya sampai kapan pun ia mencoba.

Dengan isi pesan yang hanya:

Aku tidak mengerti pelajaran ini. Koki pasti belajar kan tahun lalu?

Ah, ya, tentu saja. Menjadi seseorang yang lebih tua meski hanya terpaut satu tahun, ada kemungkinan akan minta diajari ini-itu. Tapi, sekarang? Setelah ia keceplosan menyatakan perasaannya beberapa hari yang lalu?

Aku boleh ke rumahmu?

'Tapi rumahmu kan jauh!'

Lagipula, bukankah Wataru punya dua orang kakak yang bisa lebih mudah ditanyai di rumahnya sana dari pada susah-susah datang ke sini?

Koki tidak bisa menangkap apa pun jika memang Wataru punya maksud tersembunyi; atau hanya Koki yang terlalu percaya diri. Ah, kendati begitu nyatanya Koki tetap mengemukakan persetujuan sebagai balasan pesan. Tidak apa-apa, hari ini Koki sendirian di rumah karena orang tuanya sedang mengantar adiknya ke ... entahlah, saat masih sibuk memikirkan apa yang kira-kira menjadi alasan Wataru mengiriminya pesan itu, Koki tidak ingat apa yang mereka katakan pagi tadi.

Benar, pagi tadi.

Karena, saat ini, ia sedang berada di kamar, Wataru yang duduk di sampingnya menutup buku dan merapikan alat-alat tulis ke dalam tempat pensil.

"Kau sudah paham semua materinya, 'kan? Walau tanpa aku ajari lagi?"

Wataru menoleh cepat, membuat Koki refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan kiri kemudian menggeleng pelan sebagai tanda bahwa ia tidak bermaksud apa-apa, apalagi nadanya tadi tanpa sengaja seperti tengah menuding sesuatu yang buruk.

Dalam hati Koki berharap Wataru tidak berpikir untuk benar-benar menjauhinya setelah ini.

"Oke, aku mengaku," kata Wataru tiba-tiba, lalu membuang napas. "Sebenarnya aku cuma mau tahu ... karena waktu itu aku sedang buru-buru, aku tidak sempat memastikan apa kau serius atau cuma bercanda—aku kurang kerjaan sekali memikirkan itu sampai tidak bisa tidur malam-malam."

'Eh?'

Koki tidak tahu bahwa waktu itu Wataru tidak sengaja pulang lebih dulu untuk menghindarinya, tidak tahu bahwa Wataru memikirkan kalimatnya sampai larut malam—

Saat itu juga Koki dapat melihat Wataru menunduk, meski gerakannya hanya sedikit dan barangkali orang lain tidak akan sadar akan perubahan-perubahan kecil seperti itu. "Wataru," kata Koki kemudian, dan yang namanya disebut langsung mengangkat lagi kepalanya yang tadi sedikit—sangat sedikit, tertunduk. "Apa ... yang kau rasakan?"

"Kalau aku merasa ada yang janggal setiap Koki merangkul bahuku, apa aku juga punya perasaan lebih ...?"

Koki kehabisan napas.

.

.

.

.

.

ditulis: juni 2017 (iya udah lama ya, baru aku post di sini setelah 2 tahun)

when i grow up | kokiwataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang