[ warning: a n g s t ]
.
.
.
.
.
Ketika gagak putih, bangau hitam:
Tujuh warna yang menjembatani langit adalah pena.
Yang bahkan tiada butuh dedaun kuning pun pelepah kayu.Untuk kautulisi ia rindu.
Setiup angin biar menghantarnya percuma.
Telusur jalan sejauh-jauh.
Sampai tempat tuju kehendakmu, seperti anak-anak semut yang terpencar suruhan ratu..
.
.
"Apa kabarmu?"
.
.
.
Sepucuk amplop putih, yang intensitas murninya agak pudar oleh kuning dan kerutan-kerutan layu pada keempat sudut. Pagi hari beranjak siang, jangkauan terik mentari memanjang. Entitas yang tadi membawa surat untuknya sama sekali tidak mengucap salam sebelum berbalik, terbang menuju arah yang alam tetapkan.
Seperti bulan jatuh dalam ribaan; Koki tersenyum, membalas tawa godaan dan ucapan selamat dari sang langit biru membentang menaung setiap jejak biotik mikro, biotik makro, abiotik, atas satu pucuk siratan kalimat rindu.
"Apa kabarmu?"
Pada akhirnya hanya angin yang membawa pesan, tersusun rapi berbungkus amplop sederhana berupa debu-debu dari semua tempat yang ia lalui, kian lama kian tebal, kian jauh kian tebal, dituntun matahari waktu siang dan gugusan bintang waktu malam sebagai penunjuk jalan sampai tujuan: pos udara berletak satu jengkal di luar jendela kamar.
Serbuk-serbuk bebungaan menguar tersapu angin yang kembali pergi menjauh—Koki memandangi sang amplop putih pucat berkerut, membalik; di sana pula tersemat stempel asing, ada potret pemandangan penuh cahaya pada pantai tepi lautan, lautan yang entahlah persisnya di mana. Koki tidak pernah merasakan lembut pasir-pasir corak warna krim itu di telapak kakinya bila ia berjalan-jalan sebentar tanpa sandal.
Kemudian dari gunduk-gundukan campur kabut dan debu (—meskipun Koki sudah akan tahu, yang menitip sebaris kalimat lewat cara terlampau lama: angin pengantar dari pos udara satu ke pos udara dua. Ia menantinya sejak dahulu), nama itu menguar: Wataru Vasayegh.
Huruf eigo tersambung, bukan hiragana, katakana, tidak ada kanji untuk nama depan. Koki tersenyum lembut. Barangkali memang waktu sudah berlalu begitu jauh, begitu cepat tanpa disadarinya sejak terakhir kali mereka memandang mata satu sama lain dengan sangat halus sesaat sebelum kata-kata itu terucap secara nyata, terlalu jelas sampai-sampai ekor pada huruf terakhirnya kian meruncing menusuk sesuatu di akalnya. Satu hal yang tetap bisa Koki syukuri hanyalah bagaimana si pengirim masih menitip pesan atas nama depannya—nama yang besar kemungkinan tidak akan ia gunakan di sebuah negeri seberang sana.
"Apa kabarmu?"
Isi surat terbuka oleh kerikan jangkrik memanjang kuat seperti seutas tali, menarik amplop udara yang dibawa sang angin, menyisakan kertas buatan dari pecahan debu dan kabut troposfer.
KAMU SEDANG MEMBACA
when i grow up | kokiwata
Fanfiction"As more time pass, when I grow up, I'll understand you more. Please don't let loose of my hands." . . . koki/wataru [ kumpulan oneshot ] ⚠⛔ warning: boyxboy. please, PLEASE, don't read if you don't like them being shipped romantically. you've been...