see you then

21 1 0
                                    

[ alternate reality ]

.

.

.

.

.

Koki tidak pernah berpikir langit senja akan menggelap lebih cepat sebelum ia tiba di rumah.

Perlahan jalanan mulai senyap, hanya diisi suara langkah kaki dan gesekan jalanan dengan roda dari sepeda yang ia tuntun, sengaja tanpa dikayuh pedanya. Padahal, rasa-rasanya, baru saja beberapa menit lalu masih ada topik perbincangan, ditemani matahari yang masih tampak dominan dengan jangkau jingganya, dan waktu desir angin masih menerpa tak terlalu dingin.

Koki mengangkat kepala, mengalih pandang dari jalanan agak tak rata oleh satu, dua bebatuan, menatap lurus ke depan tanpa membuat kedua kakinya diam.

Tidak sampai atau lebih jauh dari seratus meter lagi, persimpangan akan menghadang mereka: Koki, dan seorang lagi anak lelaki, lebih muda satu tahun, juga tengah berjalan sembari menuntun sepeda, kedua tangan di masing-masing setang kanan dan kiri; mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya.

Hari ini adalah kesekian puluh kalinya mereka pulang bersama karena tidak sengaja bertemu di ruangan tempat berjajar loker-loker penyimpan sepatu. Tidak sengaja, tidak sengaja—atau sengaja, dalam versi lebih jujur, Koki selalu sengaja menunggunya hingga selesai mengganti uwabaki dengan sepatu luar ruangan. Tentu saja, tidak mungkin jadwal pulang akan selalu benar-benar cocok ketika mereka berada di angkatan yang berbeda.

Namun, nyatanya, Koki selalu menerima anggukan sehabis melontarkan kata-kata ajakan pulang bersama, dengan tata bahasa kacau dan wajah agak menunduk; senyumnya tertahan, terkadang ingin mengembang lebih lebar.

Beberapa hari terakhir, Koki tidak perlu susah-susah melakukan hal-hal itu lagi, tanpa ia tahu, Wataru mulai rutin menunggu di depan kelas.

Jalan pulang mereka selalu sama (seperti perasaannya yang selalu sama). Jalan yang kerap dihiasi daun-daun kemerahan waktu musim gugur, jalan yang suka tersorot remang lampu-lampu di sisi saat matahari kian menghilang dari langit, jalan yang setiap hari akan selalu berujung persimpangan; persimpangan yang memisah tujuan langkah kaki mereka, dalam artinya sebenarnya.

Maka ketika lampu jalan dekat persimpangan mulai redup menyala, Koki mengkhawatirkan dirinya sendiri, tanpa sadar berhenti.

"Wataru."

Laki-laki yang berjalan pada jarak dua, tiga langkah di depannya ikut berhenti. Mungkin itu memang hal yang harus dilakukan manusia saat namanya terpanggil. Koki bersumpah ia tidak sengaja membuat lelaki itu terdiam, bahkan sampai menurunkan penopang berkaki untuk menyangga sepeda agar tetap berdiri, kemudian membalikkan tubuh, menatapnya tepat di kedua mata.

"Sampai jumpa."

Wataru, laki-laki itu, mengirim anggukan bersama seulas senyum lebar sebagai balasan. Koki merasa bersyukur masih bisa melihat senyumnya di tengah sinar remang-remang lampu jalanan, saat sisa cahaya di langit tinggal sedikit, sebelum menyadari Wataru mulai melambaikan tangan padanya kemudian berbalik, berjalan sambil menuntun lagi sepeda.

Koki menyusuri belokan di simpang yang berbeda seraya mengembus kuat-kuat napas. Sebuah kalimat, aku menyukaimu, yang dengan tiba-tiba ingin Koki katakan setelah menyeru namanya beberapa saat lalu itu adalah hal paling konyol yang pernah singgah di pikirannya.

Lagipula, jika tadi Koki benar-benar yakin dengan perasaan tersebut, lantas mengatakannya; barangkali besok mereka tidak akan bisa kembali pulang bersama seperti biasa.

.

.

.

.

.

[ oktober 2017 ]

when i grow up | kokiwataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang