Thirteen

925 39 0
                                    

Jessica memasuki flatnya dengan wajah berbinar. Inikah yang namanya bahagia karena mendapat pertama kali? Uang yang ia dapat setelah melakukan pemotretan untuk sebuah toko pakaian berbasis daring cukup banyak. Bahkan berlebih. Dengan nominal yang didapat, ia bisa saja membeli ponsel baru. Masih ada sisa untuk makan seminggu.

Semua ini karena rekomendasi James. Salah seorang alumni di kampusnya mendirikan label fashion sendiri. James dan alumni itu cukup dekat karena James ikut andil dalam mendirikan label tersebut. Ketika mereka kebingungan untuk menentukan model, maka James menyebut nama Jessica sebagai salah satu rekomendasi. Maka begitulah akhirnya, Jessica melakukan pemotretannya pertama kali sebagai model sungguhan.

"James, hari ini kita makan di luar!" seru Jessica sembari membuka kamar James tanpa mengetuk. Toh, mereka berdua juga sering seperti itu selama tiga bulan belakangan ini.

James hanya mendongak dari meja belajarnya, lantas kembali menunduk. Wajahnya muram.

"Hei, mana semangatmu?" Jessica menepuk bahu James kencang, membuat pemuda kurus itu meringis.

"Bagaimana aku bisa semangat kalau ponsel satu-satunya punyaku tercebur ke dalam wastafel dan tidak bisa menyala lagi," sahut James lantas mendesah lelah.

"Ya ampun. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang James? Bukankah harusnya ponsel itu diperbaiki, bukannya kaupandangi seperti itu."

"Mudah bicara, tapi sayangnya aku harus berhemat. Aku masih harus bersiap dengan peragaan busana musim gugur yang sudah aku ceritakan padamu beberapa bulan yang lalu. Kau tahu, kan, kalau sekarang sudah sampai tahap penentuan bahan? Tabunganku menipis," balas James lemas.

"Kau keberatan menghubungi orang tuamu?" tanya Jessica iba.

"Jessica, ayahku tak setuju aku mengambil jurusan fashion sedangkan ibuku juga sedang dimusuhi Ayah karena mengizinkanku pergi mengambil beasiswa dan kuliah di sini," terang James.

"Bukankah kau pernah bilang kalau ayahmu sebenarnya ada di New York. Bekerja? Lalu, kenapa kau menjauhinya?" Jessica bukannya menghibur justru berniat menggali makin dalam tentang keluarga James yang sampai sekarang masih James sembunyikan. Ia hanya tahu bahwa James anak tunggal, ayahnya seorang yang bergerak di bidang bisnis, dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.

"Aku, sedang tak ingin membicarakannya sekarang. Kau istirahatlah dulu. Aku sudah masak kari Jepang, hari ini aku sedang malas masak." James lantas mendorong Jessica melewati pintu kamar. Mengabaikan protes Jessica.

Telunjuk Jessica menyusuri lekuk wajah James yang sedang terlelap. Melihat betapa tertekannya James hari ini justru mengingatkan Jessica pada masa itu. Saat ponsel satu-satunya milik James rusak dan tak bisa diperbaiki lagi. Jessica mengulas senyum kecil ketika ingatannya kembali berputar.

"James, tolong! Aku membakar dapur!" seru Jessica sembari menggedor pintu kamar James. Dua belas jam sejak Jessica pulang dan James belum keluar dari kamar. James tak akan keluar kalau tidak terjadi hal gawat. Salah satunya dengan membakar dapur. Benar saja, tak butuh waktu tiga detik sampai pintu kamar yang tadi terkunci, kini terbuka lebar-lebar. Menampilkan James yang menatap Jessica penuh teror.

"Apa yang kau perbuat pada dapur, Jessica?" tanya James dengan napas yang menderu.

"Tidak ada, aku hanya khawatir kau bunuh diri di dalam sana. Jangan frustrasi hanya karena ponsel," ujar Jessica lantas menyerahkan sebuah kotak kepada James. Jessica lantas melenggang pergi, berjalan menuju kamarnya.

"Tunggu, Jessica. Ini ponsel. Kenapa kau memberikannya padaku?" tanya James yang membuat langkah Jessica terhenti. Jessica menoleh dan menatap James dalam.

Prisoned in Marriage [END | PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang