Mimpi

5K 116 13
                                    

Cuaca tampak cerah. Semilir angin mengelus ngelus wajah yang belum sempat kubasuh, saat kubuka jendela kamar tepat pukul 12.00 wib. Sebab semalaman aku bergumul dengan ceceran huruf yang berserak di lantai.

Sejenak kubiarkan mataku yang sayup ditiup hembusan angin. Kamarku berada di lantai kelima teratas pada tower paling kiri, di salah satu apartemen di bilangan timur kota metropolitan. Kamar berukuran 21 M itu, tidak terlalu sempit juga tidak juga terlalu luas. Cukup untuk aku bisa merebahkan badan saat lelah. Kantor tempatku bekerja pun tak jauh, sekitar 200 meter dari apartemenku.

Aku bekerja di salah satu perusahaan media nasional ternama. Posisiku lumayan bagus, sebagai editor tetap. Dan aku sangat senang dengan pekerjaan itu. Karena aku juga seorang penulis. Terutama menulis kisah kisah nyata kehidupan masyarakat modern di tengah gelombang akhir zaman.

Hari ini dan esok aku libur. Sesuai aturan perusahaan, bekerja hanya lima hari dalam sepekan. Meski begitu tak ada kata jeda bagi seorang penulis. Sebab jagat raya yang luas dan unik ini menarik untuk dibaca dan ditulis. Semua yang tampak tak lain adalah huruf huruf yang tersusun apik dan enak untuk dibaca. Pun numena yang kasat mata perlu diikat agar lebih bermakna.

Malam tadi, pukul 23.00 Emel datang. Ia lalu mengajakku nongkrong, dan jalan jalan. Ngobrol kesana kemari sambil membincang jejak jejak perjalanan. Tidak seperti biasanya, malam tadi ia tampak berbeda. Gaun putih yang dikenakan dengan sisiran rambut sengaja tergerai tampak kontras dengan suasana malam.

"El, tolong aku. Sampaikan pada ibuku kalau aku ingin pulang. Aku kangen rumah." Pintanya lirih. Emel sudah setahun kerja di Jakarta. Biasanya sebulan sekali ia selalu pulang ke Bandung. Tapi kali ini tidak. Memang ada sedikit masalah antara ia dengan keluarganya.

Aku dan Emel bersahabat. Kami sangat akrab sejak duduk di bangku kuliah dulu. Ia mengambil jurusan ekonomi pembangunan. Matematika adalah pelajaran favoritnya sedari masih SMA. Sementara aku lebih tertarik di bidang jurnalistik. Dunia tulis-menulis yang sarat dengan update informasi. Dua disiplin ilmu yang berbeda. Tapi ada satu kesamaan kami: bertekad untuk sukses di usia muda.

Emel pernah bilang padaku kalau ia bercita cita menjadi seorang banker sukses. Ia sangat berobsesi untuk dapat bekerja di dunia perbankan. Sehingga tiap hari ia jungkir balik belajar keras untuk dapat mewujudkan harapan masa depannya. Meski hal itu bertentangan dengan keinginan kedua orang tuanya yang menginginkan ia fokus di bidang kedokteran agar kelak menjadi seorang dokter. Karena menurut ibunya, profesi seorang dokter sangatlah mulia. Tapi Emel tetap bersikeras dengan pilihannya, dan ia bertekad suatu saat nanti ia dapat membuktikan bahwa pilihannya tidak pernah salah sehingga akan dapat mengantarkannya pada puncak kesuksesan.

"Lihat saja nanti! Aku akan buktikan pada orang tuaku" Ujarnya. Dengan tekadnya yang besar berbagai cara dilakukan untuk bisa mewujudkannya. Aku pun dibuat kagum oleh pendiriannya yang begitu kuat. Meski terselip setitik tanya dalam hati kecilku.

"Tapi mengapa harus berseberangan dengan keinginan orang tuamu? Bukankah itu tidak baik? Karena biar bagaimana pun kamu harus tetap minta restu orang tua, Mel?!" Sahutku mengingatkan.

"Hmm...sudah telat, El. Yang terpenting bagiku sekarang adalah pembuktian. Aku akan tunjukkan pada dunia kalau aku bisa. Pasti bisa!" Jawabnya sambil menunjukkan kepalan tangannya ke arahku.

"Baiklah kalau itu memang sudah menjadi pilihanmu. Aku doakan semoga impianmu segera terwujud." Aku lihat ada senyum yang merekah di bibirnya seakan membangkitkan api semangat yang sudah tertanam sejak lama.

"Lagian aku juga siap dengan segala resiko terburuk yang akan kuhadapi?! Tandasnya meyakinkanku.

Malam kian pekat. Obrolan kami berakhir diantara deru kendaraan. Cahaya lampu lampu jalan mulai redup tertutup kabut. Kami berpisah di perempatan, belasan meter dari pintu tol. Dengan jazz putih, ia melaju lalu melambaikan tangan menutup pertemuan.

Tak lama berselang, aku pun sudah berada lagi di apartemen. Merangkai kembali kata kata berserak menjadi lebih bermakna. Namun, entah mengapa seraut wajah, polah, dan lirih suara Emel berjejer diantara huruf huruf yang terus menari nari di langit langit kamarku. Bahkan terlihat jelas jemari Emel seakan menuntunku pada salah satu sudut ruangan.

Aku kaget bukan main, ketika mendapati Emel tengah berada di depan jendela menghadap keluar.

"Emel?! Kau kah itu?" Telisikku penasaran.

Perlahan sosok putih di hadapanku itu mulai memutar tubuhnya untuk menampakkan sosok aslinya. Sadar atau tidak, dering alarm HP membuyarkan lelap malamku. Kulihat jarum jam tepat pukul 03.00 dini hari. Ternyata aku sempat tertidur di atas tumpukan sajak dan puisi.

"Aku baru saja mimpi buruk. Mungkin karena sebelum tidur aku lupa menyebut asma-Nya." Gumamku menyesal.

Bergegas kubasuh muka, lalu kusempurnakan dengan wudlu. Masih ada waktu untuk berlari mengungkap misteri malam-Nya.

Tiba tiba HP-ku kembali bergetar. Ada pesan WA yang masuk.

"El, maaf baru ngasih tahu, ada kabar buruk, kemarin sore Emel kecelakaan, dan nyawanya tak bisa tertolong." Rian.

Lalu, satu pesan WA kembali masuk.

"El, aku di lantai 13, di samping kananmu." Emel.

****

Hai...hai...gimana ceritanya?

Ini baru permulaan, ya, readers. Belom Boom daarr gitu deh...

So, jan lupa vote & comment-nya, ya, biar nambah kece...Tks all.

Sekutu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang