Agu gugup. Bingung. Apa yang sebenarnya terjadi. Emel. Rian. Juga mimpi dan kenyataan yang baru saja kualami. Aku sungguh tak mengerti. Lalu ada apa dengan liontin bersimbol mata ini? Semua teka teki itu menyelimuti malam malamku.
"Assalamu'alaikum, Rian. Kamu dimana sekarang? Kita perlu ketemu secepatnya. Ada yang harus aku tanyakan padamu. Ini tentang Emel." Pesan WA-ku terkirim. Namun unread. Aku berharap Rian segera membacanya. Sementara wajah Emel terus menggelayut dan menari nari di pikiranku.
"Astagfirullah," hati kecilku berucap. Hanya kalimat itu yang mampu menenangkan. Kegelisahan malam yang kerap hadir bersama sepi takluk oleh kemahabesaran-Nya. Rasa takut yang terus menghantui di kala sendiri juga larut oleh lisan yang basah menyebut asma-Nya. Kalimat itu pula yang mampu menghapus semua jejak salah segala makhluk--nyata dan kasat mata.
Beberapa menit kemudian Rian membalas pesanku. "Wa'alaikumsalam, El. Aku masih di kantor. Kalau mau ketemu, besok aku akan ambil cuti. Kita bisa ketemu di tempat biasa. Bagaimana?" Rian merespon. Ia menunjuk salah satu cafe yang cukup terkenal di Dago, tempat kami biasa menghabiskan malam dengan diskusi. Tempat itu menjadi favorit kami sejak masih kuliah dulu.
"Baiklah," tukasku menjawab pesan Rian. Usai shalat subuh aku segera berkemas untuk berangkat ke Bandung. Semua pertanyaan sudah kupersiapkan. Tak ketinggalan benda asing pemberian Emel sudah kusimpan rapi dalam sebuah kotak berukuran kecil bekas perhiasan yang kubeli untuk hadiah ulang tahun adik sepupuku.
Tiba tiba HP-ku bergetar. Dari atas meja yang berada di bawah TV, segera kuraih. Rupanya ada pesan WA masuk. Tapi nomor tak diketahui. Tanpa nama. Tanpa kata. Sepertinya pesan gambar. Sontak saja aku kaget bukan kepalang, ketika mendapati pesan bergambar 'astana anyar' bertuliskan nama Emel pada batu nisannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Iblis
HorrorEmel. Mojang Bandung yang setelah lulus kuliah mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Ia bekerja pada sebuah perusahaan perbankan sesuai dengan cita citanya yang sudah tertanam sejak masih di bangku sekolah. Setelah setahun bekerja, nasib membawanya pad...