Nama: Kim Amber
Judul: Tak Ada Salahnya MenghargaiBali, apa yang tidak bisa ditemukan di pulau yang dikenal dengan julukan Pulau Dewata itu? Wisata pantai dengan sunset yang menjadi daya tarik, hingga perbedaan kebudayaan yang mengelilinginya.
Sepanjang perjalanan menuju SMA 3 Denpasar, Kadek Weda Antari yang kerap disapa Dek Weda itu tampak menatap keluar jendela mobil yang dikendarai supirnya.
Masjid dan Wihara sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi Dek Weda. Beberapa menit kemudian, gadis lima belas tahun itu tampak keluar dari mobil, menghampiri seorang gadis berkerudung coklat yang berjalan memasuki gerbang.
"Fitria!"
Fitria Azzahraelsa menoleh, tersenyum sambil menghentikan langkahnya. Membiarkan Dek Weda menyusul sebelum kembali berjalan beriringan.
"Pagi, Dek," sapa Fitria.
"Pagi, Fit, udah buat pr Seni Budaya 'kan?"
Fitria mengangguk. "Tapi nomor lima belum, kemarin jawabannya gak ketemu. Kamu udah?"
Gantian Dek Weda yang mengangguk "Udah, jawabannya ada di buku paket. Nanti liat punya aku aja."
Keduanya memasuki kelas dengan diiringi obrolan ringan seputar pelajaran.
Tanpa terasa, bel istirahat berbunyi tepat setelah Pak Agus menyelesaikan penjelasannya tentang seni rupa pameran.
"Baik anak-anak, pelajaran bapak akhiri."
Ketua kelas berdiri, memberi aba-aba.
"Ngaturang paramasantih¹."
Fitria ikut berdiri.
"Om santih santih santih om²," ucap seisi kelas–kecuali Fitria–kompak.
"Yuk ke kantin."
Kedua gadis itu melangkah memasuki kantin yang tampak ramai seperti setiap harinya. Setelah memesan makanan, Dek Weda dan Fitria lalu membawa nampan mereka ke salah satu meja yang masih kosong.
"Udah ramadhan aja ya, kapan mulai puasa Fit?" Tanya Dek Weda di sela-sela suapan nasi gorengnya.
"Mulai puasanya senin Dek, dua hari lagi."
Maklum bila Dek Weda tidak tahu, karena selain Fitria yang baru pindah ke Bali 7 bulan lalu, Dek Weda juga tidak merayakan Ramadhan.
"Mau ikut ngabuburit?"
Dek Weda mendongak. "Ngabuburit?"
"Iya ngabuburit. Jalan-jalan sambil nunggu waktu buka puasa," jawab Fitria.
Dek Weda terlihat antusias. "Ngabuburit kemana?"
"Gramedia mau? Abis dari sana kita ke Kuta, sambil beli takjil." Dek Weda mengangguk, setuju dengan usul sahabatnya itu.
"Berangkat jam berapa?"
Fitria terlihat berpikir. "Kalo jam setengah empat sore gimana? Lagian Kuta deket 'kan?"
Dek Weda kembali mengangguk. Keduanya lantas melanjutkan makan dalam diam.
Keesokannya, hari minggu sore, Dek Weda terlihat masuk ke dalam pekarangan rumahnya dengan membawa kresek putih berisi canang³ di tangan kanannya.
"Om Swastyastu⁴," ucapnya ketika memasuki rumah.
Meletakkan kreseknya di atas meja, gadis itu kemudian beranjak ke dalam kamar. Memperhatikan jadwal pelajaran besok dan memastikan semua pr-nya sudah selesai dikerjakan.
Melangkah mengambil ponsel di atas kasur, jemari Dek Veda tampak mengetik sesuatu.
Sementara di rumah Fitria, remaja itu tampak melihat ponselnya yang bergetar.
Dek Veda : ngabuburit besok, kamu kerumah aku aja ya, kita naik motor aku
Fitria : oke, tungguin ya
Dek Weda : sippSenin pagi, ketika jam istirahat, Dek Weda tidak menawari Fitria untuk ke kantin bersama, gadis itu hanya pamit sementara Fitria yang sudah mulai melaksanakan puasanya memilih diam di kelas ditemani sebuah novel.
Lima menit menjelang bel, Dek Weda kembali ke kelas, menemukan Fitria dikelilingi dua siswi dengan makanan ringan di tangan mereka.
"Kamu gak mau? Yakin? Nih makan," ucap salah satunya.
Fitria hanya memandangnya tanpa berbicara.
"Pengen kan? Batal puasanya," kedua siswi itu tertawa jahil.
Dek Weda melangkah ke kelas, membuat ketiga pasang mata itu menoleh ke arahnya.
"Kalian ngapain?"
Tak ada yang menjawab.
"Ganggu orang yang lagi puasa?" Lanjut Dek Weda. "Tidak pernah diajarkan menghargai umat lain yang sedang beribadah? Hilang kemana ilmu agama kalian?"
Tanpa menjawab, kedua siswi itu bergegas keluar dari kelas X IPA 4 yang jelas-jelas bukan kelas mereka–dan masih sempat-sempatnya menendang pintu kelas.
Dih? Gak sakit itu kakinya? Batin Dek Weda.
"Kenapa gak dilawan sih Fit?" Tanya Dek Weda sedikit kesal.
"Biarin aja, nanti juga berhenti sendiri."
Dsn setelahnya, Dek Weda hanya mampu menghela napas. Menyerah.
Lalu, ketika seluruh KBM sudah selesai, Fitria bergegas pulang, ingin membantu mengurus kesibukan hari pertama puasa katanya.
Kedua gadis itu berpisah arah namun sudah menyepakati acara ngabuburit pertama kali bagi Dek Weda.
Sesuai kesepakatan, Dek Weda dan Fitria pergi ke Gramedia Denpasar menggunakan motor matic Dek Weda.
Satu jam lebih keduanya habiskan untuk memilih-milih novel yang akan dibeli. Hingga akhirnya masing-masing memutuskan membeli dua buah dengan judul berbeda. Jadi bisa dibaca bergantian.
Sepanjang perjalanan menuju pantai Kuta, pedagang-pedagang muslim tampak mulai membuka kios dadakan untuk menjual takjil.
Lima belas menit kemudian, keduanya tiba di pantai Kuta.
Pantai ikonic di Bali yang banyak menjadi destinasi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Dan disini kedua gadis itu berdiri, memandang lurus ombak pantai Kuta yang bergulung-gulung lembut.
Kerudung biru muda Fitria tampak sesekali terhempas angin pantai, begitupun rambut hitam panjang Dek Weda yang diacak-acak angin.
Semua orang pun tahu, jika ingin dihargai, maka jangan lupa menghargai.
Semua dimulai dari diri sendiri. Perilaku, ucapan, dan akibat dari kedua itu ditentukan oleh diri kita sendiri.
Dan maknanya hanya satu. Perbedaan mungkin bisa memecah-belah persatuan. Namun sebelum dipecah-belah, namanya adalah persatuan.
Yang harus dijaga tanpa menimbulkan diskriminasi baik suku, agama, ras ataupun golongan.
Kita semua sama. Lahir dari kuasa Tuhan yang kita puja dengan sebutan berbeda.
Maka, seharusnya tidak pernah ada alasan untuk berbeda dalam artian terpisah.
================================
Keterangan :
1. Ngaturang Paramasantih = mengucapkan salam penutup.
2. Om santih santih santih om = harapan agar damai, damai, damai.
3. Canang = sarana persembahyangan agama Hindu.
4. Om Swastyastu = salam ketika bertemu seseorang; memasuki sebuah tempat. Fungsinya sama dengan salam Assalamualaikum dalam Islam.