Pagi hari di desa Bendul, dekat hutan Alas Kartika. Hawa dingin menyentuh semua kulit manusia yang bangun saat itu. Namun, tidak seperti hari biasanya yang bisa enak-enakkan molor di pagi hari. Rakyat desa Bendul sibuk bekerja mengurusi pasukan kerajaan Panjalu yang singgah dan mendirikan tenda di desa mereka. Mereka membantu karena mereka telah bersumpah setia kepada Panjalu karena tahun lalu Sri Jayabhaya menganugrahi desa Bendul sebagai desa tanpa pajak.
"Semua sudah siap?" tanya seorang yang berbadan tegap kepada kepala penjaga kuda. Badannya kecil namun kekar. Wajahnya juga bagai pemberani dengan kumis tebal. Dilihat dari gelang yang dipakai dan sarung yang dikenakan cukup khas, berwarna merah dengan corak batik. Dia juga mengenakan sebuah ikat kepala berlambang simbol Panjalu. Dialah Tengki.
"Sudah siap, jenderal!"
"Bagus. Kalau begitu perintahkan anak-anak untuk sarapan dan rehat. Kita akan berjalan masuk ke hutan 3 jam lagi." Perintah Tengki,
penjaga kuda merunduk lalu pergi. Tengki kemudian hendak pergi ke warung yang disiapkan penduduk untuk pergi sarapan.
Tapi tiba-tiba...
"Raja pingsan! Sri Nata pingsan!"
Semua langsung panik dan menuju tenda utama sang raja yang ada di antara pohon jati besar, di dekat gapura desa. Semua jenderal & beberapa prajurit sudah mengerumuni depan tenda. Tengki menyerobot masuk dan langsung membawa kendi air. Ia langsung menyerahkannya kepada raja yang sudah agak siuman, yang tengah menyender di antara kedua panglima, Iwa & Kedu. Jayabhaya menyeruput air yang dibawakan Tengki perlahan-lahan. Matanya sayu sambil memandang tak percaya ke arah Tengki. Melihat seluruh tubuhnya dari rambut hingga perut. Tengki masih hidup & seger waras.
"Aku..., Aku bermimpi kita akan di jebak di dalam hutan itu..." kata Jayabhaya menjelaskan apa yang telah ia alami. Sebenarnya, ia cukup yakin semua tadi bukanlah sekedar mimpi. Tapi dia tidak tahu lagi bagaimana menjelaskannya kepada bawahannya.
"Ndoro (Tuan)?" suara yang semula muncul dari Iwa yang kemudian diikuti Kedu dan Tengki. Mereka juga kebingungan sambil meminta arahan lebih lanjut.
"Bakar. Bakar hutan Alas Kartika!" Perintah Jayabhaya. Perintahnya didengar oleh semua bawahannya.
"Kalian semua dengar titah baginda! Bakar Alas Kartika!" kata Iwa dan Kedu. Tengku dan rombongan jenderal-jenderal langsung keluar tenda. Beberapa caraka lalu mondar-mandir menyalakan obor api. Dan pemanah-pemanah mulai menyulut anak panah dan kemudian dilontarkan. Bagai hujan api yang jatuh & menancap di Alas Kartika, yang berlokasi di wilayah barat perkemahan tenda Panjalu. Api yang kecil, perlahan lahan membesar dan menyebar dengan cepat.
"Hutan sudah kita bakar ndoro..." kata prajurit melapor kepada sang raja.
"Baik. Besok setelah seluruh hutan sudah gundul, kita baru akan masuk." kata Jayabhaya yang sekarang sudah agak seger (sembuh).Pasukan Panjalu membatalkan perjalanan melewati Alas Kartika hari ini dan kemungkinan akan dilanjutkan esok hari. Jadi hari ini mereka melakukan pesta kecil, sesuai arahan Jayabhaya sendiri. Jayabhaya sendiri masih bingung dengan semuanya, seharian ia hanya tidur-tiduran dan akhirnya malah tertidur hingga malam hari.
-----
"Kebakaran! KEBAKARAN!" teriak di sekeliling tenda. Asap mengepul di malam hari. Suara kuda yang menjingkrak-jingkrak saling bersahutan dengan suara-suara manusia. Jayabhaya kaget dan bangun dari tidurnya. Keluar tenda dan melihat api besar telah memakan sebagian tenda pasukannya begitu juga rumah-rumah warga desa.
"Raja! Raja..., anda memang benar bahwa ada pasukan Jenggala menunggu kita di Alas Kartika. Namun yang kita bakar di hutan itu hanyalah bagian kecil dari pasukan mereka. Pasukan inti Jenggala berada jauh dari hutan. Mereka melakukan serangan balasan dengan memanah api..., kita harus mundur segera." kata Tengki yang datang dengan buru-buru. Keringatnya sudah seperti sedang mandi. Jayabhaya mengangguk tapi belum sempat mereka pergi, terdengar suara detakan kuda dari arah timur. Ketika Jayabhaya mencoba melihat, ia melihat bahwa panji yang dibawa oleh pasukan berkuda itu adalah lambang Jenggala. Dengan brutal pasukan Jenggala membantai semua pasukan Panjalu yang lari kocar kacir karena kebakaran. Mereka juga melesatkan anak panah yang juga susah ditebak darimana datangnya. Jayabhaya & Tengki berhasil menghindar dan mengelak lalu berlari. Untuk beberapa saat saja hingga Tengki tertancap beberapa anak panah, membuatnya roboh seketika. Jayabhaya yang syok, jatuh dalam kebingungan.
"TENGKI!!!"
Ia berusaha menuju Tengki dengan menghindari serangan prajurit Jenggala. Membunuh dua tiga prajurit berkuda. Namun, satu prajurit pejalan kaki Jenggala tiba-tiba menusukkan tombak ke punggung Jayabhaya. Menembus dada kanannya. Sri Jayabhaya roboh dengan kedua lutut menyentuh tanah. Nafasnya sesak dan ia tahu dia sekarat. Matanya mulai pudar. Ia teringat satu hal namun dia masih belum yakin. Dia takkan tahu jika tak mencoba.
" Erghora..." Jayabhaya merapalkan kata itu sambil menutup mata.Sensasi asing dirasakan oleh Jayabhaya. Suara-suara gemuruh perang tiba-tiba lenyap. Menjadi sunyi dan tenang. Kemudian suara ayam berkokok kembali terdengar di telinganya. Jayabhaya membuka mata. Dia menarik nafas dalam-dalam lau menghembuskannya berkali-kali. Jayabhaya kembali di waktu semula. Tadi pagi. Dia mengecek dada kanannya. Aman, tak ada lecet sedikitpun. Keluar tenda, semua masih sama seperti semula. Semakin bingung dan membuat Jayabhaya tidak bisa menentukan apa yang akan diperbuat. Sang Raja lalu memutuskan untuk membatalkan rencana masuk hutan & juga tidak membakar hutan. Sang raja menunggu untuk beberapa hari kedepan.
-----
Sudah dua hari berjalan, keadaan masih baik-baik saja. Jayabhaya mulai berpikir mungkin besok hari keadaan akan lebih baik untuk melintas Alas Kartika. Dia pun tidur. Namun di malam hari, ia terbangun. Kaget karena ia dibangunkan oleh Tengki.
"Baginda! Telah terjadi makar di pasukan kita." Lapornya.
"Makar???"
"Benar. Para loyalis dan pemakar sekarang sedang bertarung satu sama lain. Saya ingin mengawal anda ke tempat yang lebih aman."
Jayabhaya setuju. Mereka berdua keluar tenda dan berusaha menuju ke tempat aman. Pertarungan sesama Panjalu bisa disaksikan oleh Jayabhaya dengan hati yang gelisah.
"Kita menuju kemana?" tanya Jayabhaya.
"Ke kandang kuda. Panglima Iwa & Kedu sudah menyiapkan kuda untuk anda. Mereka juga yang memerintahkan aku untuk mengawal anda."
Akhirnya mereka sampai di kandang kuda yang lumayan sepi. Hanya terlihat Iwa disana.
"Dimana kudanya, Panglima?" tanya Tengki yang sebelumnya menjura. Iwa maju dan menjawab, "Tidak ada kuda. Hanya kematian."
Keris Iwa mendarat di perut Tengki. Membuatnya tersungkur lalu mati. Jayabhaya kaget dan hendak melawan Iwa namun tanpa ia sadari tiba-tiba Kedu muncul lalu menusuknya dari belakang. Sang Raja juga tersungkur ke tanah. Jayabhaya berbalik dan melihat kedua panglimanya telah mengkhianatinya.
"Kenapa kalian berdua..." tanya sang raja tak percaya.
"Kau adalah Raja yang lemah." Jawab Kedu.
"Sederhana. Aku ingin jadi Raja Panjalu dan meniduri istri-istrimu. Dan aku sendiri yang akan menaklukan Jenggala. Lalu, apa pesan terkhirmu untuk istri-istrimu?" kata Iwa dengan muka yang menyebalkan.
Jayabhaya yang sudah sekarat. Mulutnya muntah darah berusaha mengeluarkan kata-kata.
" Erghora..."--- BERSAMBUNG ---
KAMU SEDANG MEMBACA
Mustikadewa: Jayabhaya's Vision
Ficción históricaSri Jayabhaya tengah memimpin langsung pasukannya untuk segera menaklukan Kerajaan Jenggala. Dengan melewati hutan Alas Kartika, dia berpikir akan segera dapat menerjang masuk ke ibukota musuh. Namun, sesuatu yang penting dan besar akan mengubah jal...