Gusion mengaduk kopinya dengan santai. Menambahkan sedikit susu, lalu gula. Lalu mengaduknya lagi. Suara sendok kecil yang mengenai bagian dalam cangkir menimbulkan suara berdenting pelan, memecah kesunyian di antara mereka. Gusion berhenti mengaduk. Ia menghela napas dan bersandar ke kursi cafe yang empuk.
Cewek ini, Lunox Mary, dulu sempat menjadi pusat dunianya. Seseorang yang selalu mengisi pikirannya dan ingin selalu ia temui. Tapi sekarang entah kemana semua perasaan itu. Wajah cantik Lunox tidak lagi membuatnya ingin tersenyum sambil membelai rambut halus cewek itu. Yang ia rasakan sekarang hanyalah kosong. Dan mungkin sedikit kekecewaan.
"Katakan." Gusion akhirnya buka suara. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Lunox mendongak. Gerakan tangannya yang sedang memotong red velvet seketika terhenti. Ia terlihat agak gugup. Gusion menyadari itu.
"Apa perlu alasan khusus untuk duduk di sini bersamaku?" cewek itu bertanya pelan. "Apa harus ada yang ingin kubicarakan?" Lunox memandang Gusion langsung ke mata. Gusion menghela napas dan menghindarinya. "Kita dulu nggak perlu alasan apapun. Nggak pernah jadi masalah kalau aku dan kamu duduk bersama dalam diam."
"Well, itu dulu." Gusion memandang mata cokelat bersinar Lunox. "Kamu tahu sekarang semua nggak sama lagi."
Kalimat itu jelas menyakiti Lunox. Gusion bisa melihat bagaimana tubuh gadis itu menjadi kaku. Tidak ada hal lain yang ditunjukkan wajah cewek itu selain penyesalan.
"...aku minta maaf." bisik Lunox lirih, menunduk, menghindari tatapan Gusion. Suara bergetar cewek itu dulu adalah kelemahan Gusion. Tapi sekarang entah mengapa justru menyulut emosinya. Gusion berdecak dan bangkit berdiri.
"Sekarang sudah terlambat." katanya. Membuat Lunox mendongak. "Dan kamu nggak perlu menyesal."
Lunox bangkit dari kursinya dan menahan lengan Gusion saat cowok itu hendak melangkah keluar cafe.
"Dengarkan aku dulu, Gusion." mohonnya, menahan lengan cowok itu dengan kedua tangan. "Aku sangat menyesal. Aku tahu harusnya aku tidak seperti itu. Harusnya aku percaya padamu."
Kata seharusnya membuat Gusion muak.
"Tapi kamu tahu apa yang terjadi..." Lunox merasa harusnya Gusion mengerti. Keadaan yang memaksa ia dulu bersikap seperti itu. "Kabar yang beredar di Dawnvillage menyatakan kamu adalah tersangka tunggal. Dan mereka bilang Zilong mati karena tertusuk belati kesayanganmu."
Gusion memejamkan mata. Ia merasa kepalanya sakit setiap kali ingatan saat menemukan Zilong bersimbah darah malam itu terputar kembali dalam memorinya.
"Lalu orang tuaku dan teman-temanku..." Lunox terdengar putus asa. "Mereka bilang lebih baik aku nggak terlibat. Mereka bilang lebih baik aku memutuskan hubungan denganmu..."
Gusion ingat bagaimana saat ia berada di kantor polisi ia berusaha menghubungi kekasihnya. Seseorang yang harusnya bisa memberinya ketenangan. Kenyamanan. Kesempatan satu kali menelfon yang diberikan Tuan Vance ia gunakan untuk menghubungi Lunox. Tapi cewek itu tidak pernah menjawab.
"Kamu tahu posisiku sulit, Gusion." dan sekarang ia mulai menangis. "Aku bingung. Aku takut. Aku nggak tahu harus bagaimana."
Dan setelah ia ditetapkan menjadi tersangka, terasing saat menjadi tahanan rumah hingga penyelidikan selesai, Lunox tidak pernah sekalipun menjawab pesan atau panggilan telefon Gusion. Hingga perlahan cowok itu mengerti. Mengerti bahwa kehadirannya tidak diinginkan lagi.
"Kamu tahu," Gusion benci saat mendengar suaranya sendiri terdengar serak dan menyedihkan. "Aku berharap kamulah orang yang paling mengerti aku. Memberiku kepercayaan." Gusion perlahan melepaskan genggaman kedua tangan Lunox dari lengannya. "Aku nggak peduli saat semua orang menganggapku pembunuh. Aku nggak peduli saat semua orang berpikir akulah kriminal yang tega menghabisi nyawa sahabatku sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Trouble
Teen FictionSebuah kasus yang ditangani Ayah Lesley membuat cewek itu jadi ikut terlibat pertikaian antara dua geng terkuat di Dawn Village, Black Wolves dan Red Hawks. Meski Black Wolves selalu berusaha melindunginya, tapi Lesley tidak bisa menekan rasa benci...