M1

46 7 0
                                    

“Mama, aku lapar!” ucap anak itu sambil memegang perutnya. Mengikuti setiap langkah mamanya yang terus berpindah untuk mengelap jendela lain.

“Kenapa gak minta aja sama papamu?” balas Shirakawa sembari menyemprot jendela dengan botol pembersih.

“Tapi kan aku lagi sama mama!” ucap anak itu kesal. “Kalau begitu tahanlah sampai jam 12,” balas Shirakawa tenang.

“Tapi aku laparrrr!!!” ucap anak itu sambil menghentakkan kakinya dan mulai rewel.

Shirakawa enggan menghiraukannya, sampai anak itu menarik rok Shirakawa. Akhirnya ia pun (terpaksa) mengalah.

.

.

.

.

Akhirnya Shirakawa pergi ke supermarket sebentar tuk membeli roti isi kare. “Nih,” lalu memberikan 1 roti pada anak perempuan yang tak dia akui itu.

Terlihat muka anak itu berbinar-binar, lalu segera memakannya dengan lahap.

Awalnya mukanya sangat senang, tapi lama-lama mukanya terlihat mulai memerah padam. “Pedaass...” ucapnya sambil menitikkan sedikit air mata.

“Eeh?! kau tak bisa makan pedas?” Ucap Shirakawa menyodorkan sebotol air.

Jelas saja, anak bocah mana yang sudah kuat makan pedas diumur 3 tahun :( dasar geblek.

Anak berambut hitam itu menyodorkan roti yang baru 1x digigitnya. Shirakawa mengernyit. “Apa? Kamu suruh aku habisin sisa rotimu?”

“Mama aja yang makan, kan mama yang beliin!”
“Aku gak mau makan sisamu,”
“Kalo enggak diabisin nanti roti sama uangnya nangiss.. Kan mama yang bilang,”
“Kan kamu yang minta makan?!” nadanya meninggi.
“Huuuuuh kan mama yang ambil roti pedesnyaa!” balas si kecil tak mau kalah.

Akhirnya Shirakawa (terpaksa) memakannya karena tak mau membuatnya menangis di depan umum. Jadilah mereka bermakan siang ria, duduk sembari melihat-lihat pepohonan di depan mata.

Time for the Moon NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang