05 | Yarmouk University

2.6K 152 289
                                    

Suasana sarapan pagi di kediaman Mustofa berlangsung begitu tenang dan khidmat. Seperti biasanya, Anissa selalu duduk di sebelah Mustofa. Sedangakan Bilal duduk di sebelah Yasmeen. Di rumah tiga lantai yang sangat luas ini memang hanya ada empat family member saja, termasuk Anissa. Fareeda, nyonya Mustofa sudah meninggal sejak usia Bilal lima belas tahun.

Anissa menyobek khubs atau roti datar khas Arab yang baru saja keluar dari oven. Lalu dia mencelupkannya ke minyak zaitun dan bubuk za'tar. Anissa langsung melahapnya dan mengunyahnya pelan-pelan. Rasa bubuk za'tar yang sedikit masam dan manisnya minyak zaitun terasa sangat lezat dan menyegarkan. Anissa sampai tidak menyadari jika sedari tadi Bilal mencuri-curi pandang ke arahnya.

Bilal bersiul dalam hati, Anissa begitu lahap memakan sarapannya. Rupanya lidah perempuan itu sudah beradaptasi dengan makanan khas di Yordania. Padahal bisanya Anissa setiap pagi selalu memakan Indomie, makanan kampung!

"Bagaimana kuliahmu?" tanya Mustofa. Pria tua itu terlihat kesusahan mengunyah makanannya. Makan menggunakan gigi palsu ternyata rasanya sangat tidak enak.

"Alhamdulillah ... baik, Sido. Bahkan aku sudah mempunyai banyak teman di sana." Anissa tersenyum manis dan kembali mengunyah makanannya.

"Laki-laki atau perempuan?!" sinis Bilal. Raut wajahnya berubah masam dengan mata yang disipit-sipitkan.

Mustofa dan Yasmeen membekap mulut, menahan tawa mereka yang ingin meledak saat itu juga. Sikap Bilal benar-benar seperti remaja labil yang tengah cemburu pada kekasihnya. Yasmeen tahu, Bilal sudah mulai mencintai Anissa. Dia sering memergoki Bilal yang diam-diam selalu memperhatikan Anissa dari jauh. Hanya saja, ego Bilal terlalu tinggi untuk mengakuinya.

"Perempuan, Tuan." jawab Anissa jujur.

"Bagus! Aku menguliahkanmu untuk belajar. Aku tidak ingin calon anakku lahir dari seorang wanita bodoh dan tidak berpendidikan! Jadi belajarlah dengan benar!"

"Iya, Tuan. Aku tahu." Anissa menghela napas.

"Kau masih memanggilnya Tuan, Anissa?" Yasmeen terkekeh-kekeh.

Anissa hanya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang seputih daging kelapa.

"Lidahku sudah terbiasa, Kak."

"Memang sepantasnya seperti itu!" tegas Bilal mutlak.

Mustofa menggeleng pelan. Ternyata sifat anak tunggalnya memang tidak pernah berubah.

"Aku berangkat ke kantor dulu, Sayang. Habiskan sarapanmu!"

Bilal bangkit dari duduknya. Bibir penuhnya langsung menemui puncak kepala Yasmeen yang polos, tidak ada sehelai rambut pun yang tumbuh di sana. Bilal mengecupnya sangat lama, begitu lembut dan penuh kasih sayang. Kanker servik stadium empat, penyakit itu sudah menggerogoti istrinya semenjak tiga tahun terakhir. Dari hari ke hari kondisi kesehatannya terus menurun sangat drastis. Beberapa hari yang lalu Yasmeen masih bisa berjalan. Namun kini perempuan itu sudah duduk di kursi roda. Setiap kali melihat Yasmeen, luka di dalam hatinya selalu berdenyut. Bilal sangat takut kehilangan Yasmeen.

"Jangan lupa minum obat." Bilal mengecup kedua kelopak mata Yasmeen yang terkatup rapat secara bergantian.

Memang Bilal selalu seperti itu setiap hari. Yasmeen sangat beruntung diperlakukan semanis itu oleh suaminya. Sedangkan Anissa, perempuan berusia delapan belas tahun itu hanya mendapatkan lirikan tajam dari ekor mata Bilal. Tidak ada kecupan, atau ucapan sayang. Tidak ada sama sekali!

Kepala Anissa bergerak mengikuti punggung Bilal yang menghilang di balik pintu ruang makan. Perempuan itu mendesah pelan. Ternyata Bilal tidak pernah mencintainya. Pelukan hangat beberapa hari yang lalu mungkin hanyalah sebuah kekhilafan semata.

Catatan Anissa di Yordania ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang