25 | Jembatan Rindu

1.9K 107 378
                                    

Aroma rempah yang sangat kuat menguar dari panci presto di atas kompor. Sedari tadi, tatapan Anissa terpaku pada punggung tegap Bilal yang tengah berkutat menyiapkan makan siang untuknya.

"Tuan, sudah belum?" tanya Anissa.

"Sudah dong," jawab Bilal menggunakan bahasa Indonesia dengan cengkok Arab yang sangat kental.

Anissa tersenyum geli mendengarya. Hidung mungilnya kembang kempis saat Bilal datang dengan membawa sepiring waraka enab---nasi campur daging cincang yang digulung oleh daun anggur dan dimasak dengan saus tomat.

"Waah ... sepertinya ini sangat lezat." Anissa menyecap lidah.

"Kau harus makan yang banyak agar anak kita tumbuh sehat dalam kandunganmu." Bilal menyuapi Anissa dengan telaten.

Anissa mengangguk, dia mengunyah makanannya pelan-pelan. Hatinya selalu berembun penuh haru setiap kali Bilal bersikap manis seperti itu. Anissa bersumpah demi sang Khaliq, tidak ada kebahagiaan yang lebih indah baginya selain bisa tetap memandang wajah Bilal.

"Tuan ...."

"Apa, Cinta?"

"Aku sangat bersyukur bisa menjadi istrimu." Anissa tersenyum manis dengan mata berkaca-kaca. "Sungguh, aku tidak menginginkan sedikit pun dari harta yang kau miliki. Aku hanya menginginkan hatimu dan cintamu. Itu saja," sambung Anissa.

"Aku pun sangat bersyukur bisa memilikimu. Jika kau memang hanya menginginkan hati dan cintaku, maka semuanya sudah menjadi milikmu, Habibti." Bilal tersenyum hangat lalu mengecup lembut puncak kepala Anissa dengan segenap cinta.

Bilal mengusap lembut pipi Anissa menggunakan kedua ibu jarinya. Seketika, tatapan mereka pun saling terkunci dalam. "Mari kita berjuang bersama-sama untuk mencari ridho Allah dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang suci ini."

Anissa mengangguk, ia menumpahkan sejuta rasa melalui air mata yang perlahan luruh menuruni pipinya.

"Aku akan selalu ada untukmu, Habibti. Kau akan selalu damai dalam dekapanku." Bilal merengkuh tubuh Anissa dalam sebuah pelukan hangat.

"Berjanjilah untuk tetap di sampingku, Tuan."

"Iya, aku berjanji, Anissa."

"Jangan pernah meninggalkanku lagi."

"Iya, iya, Habibti. Aku ke kamar mandi dulu sebentar," ucap Bilal setelah melepaskan pelukan.

"Jangan, Tuan! Aku masih ingin memelukmu."

"Tapi ini sudah di ujung, Habibti."

"Ya sudah, awas jangan lama-lama."

Rasanya sudah hampir dua jam Anissa menunggu Bilal yang sedang ke kamar mandi. Namun suaminya itu tak kunjung kembali. Anissa berdecak kesal dibuatnya.

"Tuan! Tuan ...! Tuan ... kau lama sekali huh! Tuan ...."

"TUAAAAN ...!"

Anissa terjaga dari tidur siangnya. "Ya, Allah ... ternyata hanya mimpi." Anissa mengusap wajahnya yang basah oleh peluh seraya merapalkan doa. Dia segera beringsut dan duduk di bibir ranjang. Selama tiga bulan lebih, Anissa tidur seraya terus memeluk kain sorban yang selalu Bilal kenakan. Hari demi hari yang dia lalui tanpa Bilal selalu terasa sepi dan hampa.

Anissa menghela napas panjang. Tangan mungilnya meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas sisi ranjang. Anissa menghubungi seseorang lewat vidio call.

"Aslamualaikum, Habibti."

"Wa'alaikumsalam, Tuan ... pulanglah kumohon ...," rengek Anissa.

Catatan Anissa di Yordania ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang