21 | Senyummu

2.3K 129 404
                                    


Pria itu mengucapkan ribuan kata syukur dalam hatinya. Bilal masih diberikan napas hingga detik ini. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menebus semua dosa-dosanya pada Anissa. Bilal yakin, bahwa tidak ada kata terlambat untuk seseorang yang ingin bertaubat sebelum mentari terbit dari ufuk Barat.

Ketika Bilal mengulurkan tangan kanannya, Anissa langsung meraihnya lalu mencium punggung tangan suaminya dengan lembut. Anissa bangun dari duduknya, lalu melipat sajadah dan mukena yang semula membalut tubuhnya. Subuh ini, untuk pertama kalinya Bilal mengimaminya shalat. Hati Anissa berbunga-bunga dibuatnya.

"Semoga Allah meridhoi kita dan membiarkanmu tetap di sampingku dari dunia sampai surga," ucap Bilal. Dia menepuk kasur, menyuruh Anissa untuk duduk di sisinya.

Anissa menatap lekat wajah Bilal yang basah oleh air mata. Iris cokelat terang miliknya sangat teduh, tidak dingin seperti dulu. Anissa tersenyum manis dengan mata yang berkaca-kaca. Jika seandainya semua ini hanyalah mimpi, Anissa akan memohon pada Tuhan untuk tidak pernah membangunkan tidurnya.

"Doa apa yang kau panjatkan, Anissa?" tanya Bilal seraya memainkan pipi Anissa dengan jari telunjuknya.

"Aku meminta agar Allah senantiasa menjaga hatiku dan hatimu dalam ikatan suci ini."

Bilal mengulas senyum sehangat mentari. lalu mengecup pipi kanan Anissa dengan gemas. "Hmm ... apakah hanya itu?"

Anissa menggeleng. "Aku juga meminta agar Allah menaungi rumah tangga kita dengan rahmat dan kasih sayang-Nya. Mengaruniai kita dengan anak-anak yang shaleh dan shalihah. Aku memohon agar Allah memberi kita umur panjang, karena aku ingin menjagamu sampai wajah tampanmu keriput dan rambutmu beruban, Tuan."

"Benarkah?"

Anissa mengangguk, menjatuhkan air matanya yang semula menggenang.

Hati Bilal tertegun. Dia segera menarik tubuh Anissa dan memangkunya, lalu dia memeluk istrinya dengan sangat erat. Bilal bahkan bisa merasakan tubuh Anissa gemetar dan berkeringat dingin.

"Cintaku padamu tidak akan pernah menua meskipun rambutku telah memutih."

"Tuannn! Berhenti merayuku." Anissa menangkup wajahnya yang panas dan merona.

"Hei, kau kira aku sedang merayumu?" Bilal berdecak. "Padahal aku sedang berkata jujur," sambungnya.

Anissa mengulum senyum. "Baiklah ... aku percaya."

Bilal menempelkan dagunya di pundak Anissa. Dia menciumi pipi Anissa tanpa ada rasa bosan. Bahkan sesekali Bilal juga menghisap pipi istrinya dengan sangat gemas.

"Tadi, aku juga menitipkan salam rinduku untuk Kak Yasmeen."

Air mata Anissa berjatuhan dan dia segera menghapusnya. Dadanya sesak. Selama ini Yasmeen yang mengajarinya untuk terus bersabar dalam menghadapi sifat Bilal. Namun sekarang ... wanita berhati lembut itu sudah tiada.

Wajah Bilal berubah sendu mendengar nama Yasmeen disebut. Mata tajamnya mulai menggenang air mata.

"Maafkan aku, Tuan. Aku sudah mengingatkanmu pada Kak Yasmeen dan membuatmu bersedih."

"Tidak apa-apa. Aku sudah ikhlas, Anissa. Yasmeen sudah tenang di sisi-Nya, insyaAllah." Bilal tersenyum getir. Dia menangkup kedua pipi Anissa dan mengecup kedua kelopak mata Anissa secara bergantian. Sebuah kebiasaan yang dulu sering dia lakukan pada Yasmeen. Tidak bisa dipungkiri, Bilal memang sangat merindukan almarhumah istrinya itu. Tapi saat ini, kerinduan itu hanya mampu dia curahkan lewat doa-doa di setiap sujudnya.

Bilal membawa tubuh Anissa dan menarik tengkuk Anissa untuk bersandar pada dada bidangnya. Tangannya mengusap lembut punggung Anissa. Dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan Anissa lagi.

Catatan Anissa di Yordania ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang