Bab I : Awal Pertemuan

58 4 0
                                    


Rabu, 23 July 2003..

Adalah hari sendu dimana aku pertama kali bertemu dengan kamu dalam keadaan duka yang tidak aku pahami mengapa awan mendung menyelimuti suasana dan langit pun turut menumpahkan kesedihannya dihari itu. Hari itu hari pertama aku memahami bahwa setiap pertemuan selalu ada perpisahan dan kamu ada untuk menjelaskan padaku apa artinya ditinggalkan dan meninggalkan orang yang sangat berarti di kehidupan. Dimana kamu juga menjelaskan arti kesabaran, keikhlasan, dan untuk kuat dalam menjalani problema selanjutnya yang ada di depan mata. Hari itu, hari dimana aku kehilangan cinta pertama dalam hidupku, cinta tanpa jeda, cinta tanpa syarat yang menyayangiku sepenuh jiwanya, aku kehilangan Ayah yang baru aku kenal selama lima tahun. Ayah yang selalu memanjakan aku dan kakakku apapun yang aku inginkan, seperti rekreasi misalnya. Dan kemarin menjadi hari terakhir aku rekreasi bersama Ayah, saat itu Ayah bahkan menahan sakitnya hanya untuk sekedar membuat kami tertawa diatas komidi putar, saat itu Taman Ria yang berada di Jalan Gatot Subroto menjadi tempat rekreasi keluarga terbaik pada zamannya, namun kenangan di Taman Ria juga turut menghilang yang kini difungsikan untuk kegiatan Pemko, terakhir pada Maret 2018, eks lahan Taman Ria itu dijadikan tempat penyelenggaraan MTQ se- Kota Medan yang ke -51, dan kini didepan Halte aku berdiri dan cuma bisa membayangkan bahwa aku pernah berada disana tertawa bersama Ayah, Mama, dan Kakakku. Walau pertemuan itu sungguh singkat namun cukup bagiku, karena Ayah pergi untuk bahagia, Ayah tak akan merasa sakit lagi maka akupun sudah ikhlas walau aku memahaminya setahun setelah Ayah pergi meninggalkan kami.

Kamu datang dengan senyuman manis dan lesung pipi sebelah kanan, kamu melihatku yang sedang memperhatikan wajah ayah untuk terakhir kalinya. Aku tidak tahu apa yang kamu fikirkan saat itu, yang aku tahu kamu ada disana untuk menghiburku. Tidak ada air mataku disana, aku cuma terdiam lesu tidak paham apa yang sebenarnya terjadi bahkan aku bertanya-tanya dengan orang-orang yang berdatangan dirumahku mengapa ayah tidur dan tidak terbangun, mengapa ayah tidak bernafas lagi, dan mengapa wajahnya ditutup dengan kain, mereka cuma bungkam dan memaksaku untuk bersabar yang bahkan akupun tidak paham apa itu sabar. Saat itu aku menangis karena tidak ada yang bisa menjawabku, bahkan aku juga tidak mengerti mengapa kakak dan mamaku juga histeris di tengah keramaian rumah kami.

Lalu Tante adik mamaku menggendongku dan membawaku keluar dari rumah, aku menangis sejadinya di pelukannya, aku bertanya pertanyaan yang sama namun beliau juga menyuruhku untuk sabar karena sebentar lagi aku akan memulai untuk belajar memahami apapun perjalanan hidup yang akan aku lalui. Lalu kamu menghampiriku masih dengan senyuman manis yang kamu miliki, kamu berusaha untuk mendekatiku sebagai seorang teman.

"Mau main denganku? Aku punya cokelat, kamu mau?".

"Kamu lihat didalam? mengapa mereka tidak menjawab pertanyaanku? dan mana cokelat kamu aku mau" jawabku masih dalam keadaan terisak.

"Ayah kamu sudah bahagia dia bersama dengan Allah kita, bahkan dia sudah tidak merasakan sakit lagi, Ayah kamu orang baik, bahkan beliau juga membantu Opah ku kemarin. Mau main sepeda samaku?".

"Aku enggak tahu apa yang kamu bilang tapi aku juga tidak memiliki sepeda".
"Kamu duduk dibangku belakang sepedaku, kamu namanya Alesha bukan?"
Aku terheran melihatnya yang sudah mengetahui namaku, namun aku paham karena sedari tadi orang-orang menyebut namaku dan kakakku seraya bilang "Kasihan anaknya masih kecil".

"Iya nama kamu siapa?".

"Arif". Jawabnya masih dengan senyumannya dan menghapus air mataku yang sedari tadi mengalir tanpa aku minta.

Hari itu rintik hujan masih asik untuk turun membasahi bumi, seakan paham bahwa rintik mewakili duka yang sedang kami lalui. Dan aku asik dengan diriku dan dirinya teman yang baru saja menyapaku dengan senyuman manisnya, bermain tanpa paham bahwa nanti malam tidak ada kehadiran Ayah lagi dirumah, tidak ada yang membawaku ke kamar kala aku tertidur menonton bola bersama Ayah. Iya, mulai sekarang ruang keluarga kami akan sepi, tidak ada teriakan "gol" lagi dari suara Ayah, tidak ada lagi yang menjelaskan padaku makna menjadi anak baik, dan tidak ada lagi yang membawakan aku martabak cokelat rembulan setiap malam yang menjadi hal rutinku menunggu ayah pulang membawa sekotak martabak. Aku paham bahwa setiap pertemuan selalu ada perpisahan, entah itu jarak alam ataupun jarak waktu namun yang ku tahu memang sudah porosnya akan berputar sedemikian sesuai yang Semesta rencanakan, dan mungkin juga itu yang terbaik mengingat beberapa bulan sebelumnya Ayah bahkan menahan diri untuk tidak menangis didepan kami walau pada akhirnya aku melihatnya menangis didepanku dan memberi pesan untuk selalu belajar menjadi anak baik semampuku, dan mematuhi apa yang Mama katakan sebab saat ini tujuan aku hidup untuk membuat Mama bahagia karena kini Mama harus berjuang membesarkan kami sendirian. Waktu itu aku hanya terdiam tidak mengerti apa yang sedang disampaikan oleh Ayah, yang ku tahu dan ku nikmati adalah saat aku tidur disebelahnya untuk terakhir kalinya di tempat yang aku benci. 

2 Times in JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang