Bab II : Senja di Lapangan

35 2 0
                                    

Aku mengayuhkan sepeda gunung ku ke suatu tempat yang ingin sekali aku pijaki karena rindu yang selalu berteriak ingin ada disana kembali. Aku memilih duduk dibawah rindangnya pohon beringin, masih melirik sekitar halaman sekolah yang pernah aku pijaki dan sempat mengukir sejarah disana, sembari bergumam "hmm tidak ada yang berbeda ya". Masih dengan peralatan biasa, buku catatan, pulpen hitam dan kamera mirrorless yang menggantung di leher. Lama ku termenung menatapi setiap celah spot sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumahku dan rumahnya. Iya, dirinya yang selalu menyemangati dikala aku pengen nyerah dan udahan aja. 

****

Suara angin yang berisik menggelitik telinga di tengah lapangan sore hari itu, sama seperti berisiknya suara Sam yang sibuk menggodaku seraya membuatku semakin kesal dan menggerutu.

"Cil, coba deh kamu arahin layangannya ke sumber angin biar agak tinggi, masa layangan dan besar badan ceteknya sama".

"Duh berisik banget sih"

"Sam, uda deh kamu kelewat bener deh"

"Ampun Suhuuu"

Ditengah keseruan menerbangkan layangan, Rizky datang dengan sekelebat lebam diwajahnya. Ya, remaja empat belas tahun itu sudah harus menjalani berbagai masalah hidup yang bahkan seharusnya untuk remaja seusia itu harus lebih banyak bermain biar menikmati masa remaja yang dimilikinya.

 "Teman-teman, punya obat biru?"

 "Heh, kamu kenapa deh Ki?"

 "Biasa Al, Papa."

 "Haish sudah diam jangan banyak bicara mulut ,mu berdarah, kita bantu obatin dulu"

******

Aku mengingat setiap moment yang ada disana, entah itu tentang kita yang tidak saling terbuka, tentang arti dimana setiap detik jarum jam berputar memiliki makna rasa tanpa karsa yang bahkan sampai akhir tidak bisa untuk disampaikan.

"Lu ngapain duduk disitu? Lapangan tidak seperti dulu. Bangun"

"Kenapa lu selalu berisik mulu deh perasaan"

"Lu mau liat senja? ngga bakal bisa lu liat lagi disini geblek, lihat itu bangunan-bangunan sialan menutupi senja, ikut gue dan berhentilah berpura-pura tidak apa-apa, lepas gih kacamata item lu, makin cipit mata lu nanti"

"hmm gue mageeerr, Sam. Dan inituh kacamata yang kalo terkena sinar matahari jadi item, norak lu kampungan gatau ya?"

"Iyee gue kampungan terserah lu, ayooo geraaak lu mau gue seret paksa atau lu bangun sendiri?"

"Kenapa lu mau nyeret gue? Elu emang hobi menyeret-nyeret ya dari dulu? Dasar kaktus"

Sam cuma terdiam, tapi bodohnya aku mengikuti ucapannya dan mengikuti arah langkah kakinya sampai akhirnya mobil Jazz putih membawa kami mengikuti kehendak si pemilik mobil dan menghilang dari lapangan hijau ditengah perumahan Kodam tempat kami berpulang untuk sekedar melepas penat.

******

Sore ini, seperti biasa aku mengitari perumahan kodam ini selepas mengaji di madrasah disekitar perumahan ini. Teringat suatu hal dimana Ayah juga sering setiap sore mengajak aku beserta kakakku keliling perumahan dengan vespa hijaunya, atau terkadang kami singgah di supermarket untuk membeli cemilan dan singgah di martabak terang bulan karena emang kami semua penyuka martabak. Ayah selalu memanjain kami, maka ketika ayah tak adalagi di dunia ini rasanya menopang beban sendirian itu sangatlah berat, karena ku tak ingin jika menambah beban Mama lagi yang membesarkan kami seorang diri. Mama itu wanita hebat.

Aku menghentikan sepedanya tepat didepan supermarket yang biasa kami kunjungi, dan aku merogoh saku di celana berharap ada recehan disana untuk bisa beli es krim, dan nyatanya tidak aku temukan recehan disana.

"Al, mau beli apa? kok ngga masuk?". Arif menyapaku tidak lama setelah dia melihatku didepan pintu supermarket.

"Al pengen es krim, tapi ngga punya duit"

"Sebentar, abang belikan dulu"
Lima menit kemudian, Arif keluar dari supermarket tersebut dan membawa es krim walls , aku yang sedari tadi menunggu diluar pun melihat dari kejauhan dengan wajah yang sumringah.

"Nih" Arif menyodorkan es krim ke arahku

"Terima kasih ya abang, rasanya sudah lama tidak Al nikmati es krim ini. Biasanya Ayah yang beli ketika ayah pulang dari kantor"

"Al boleh panggil Papaku dengan sebutan Ayah, tak apa nanti abang bilang sama Papa, sudah jangan sedih lagi oke?"

"Al rindu sama Ayah bang". Aku menangis sekencang yang aku mau, kata Arif jika sedih maka keluarkan sebab tidak ada yang bisa melarangmu melegakan diri sendiri mau sebanyak apapun air matamu tumpah.

Kala itu, Arif merangkulku dan selalu berkata "Tidak apa-apa, semua akan terbiasa dan baik-baik saja, kamu tidak sendiri". Dan itu cukup membuatku tenang, sebab saat ini kami belajar untuk membiasakan diri, membiasakan diri untuk tidak menangis didepan orang-orang. Silahkan tumpahkan air matamu jika itu membuatmu lega, tak apa. Siapa yang berani melarang? Jangan takut dikata cengeng, karena orang-orang cuma menilai dan beropini dari apa yang terjadi tanpa mau ditelusuri sebabnya. Arif itu lelaki kedua terkeren dan lelaki dengan sejuta kejutan dan kelembutan yang pernah aku temui.

******

Deru ombak yang sedang beraktivitas dilaut membuatku ingin berlari disana, berteriak untuk melegakan kerongkongan yang mengering sebab menahan air mata yang ingin jatuh, ternyata aku ini egois juga ngga ingin air mata terjatuh sebab aku tak ingin seseorang mengkhawatirkan diriku. Namun Sam? Lelaki dengan sejuta dolar sok tahunya ini memang beneran memahami apa yang ingin aku lakukan.

"Keluarin aja kali Al, gengsi bener. Uda berapa umur lu itu"

"aaaaaaaaaaaaaaaaa", Aku berteriak sekuat tenaga, tak peduli dilihatin banyak pengunjung, yang terpenting Aku ingin mengeluarkan semua suara yang sedari tadi tertahan dikerongkongan, dan kali ini Aku membiarkan tiap bulir air mataku jatuh.

"Maaf"

"Ngga apa-apa, Sam. Bukan salahmu."

"Can I hug you?"

"No. Sorry"

"Can I Pukpuk you?"

"Apaan sih elo kira gue bayi?"

"Ini yang buat gue takjub sama elo, elo pinter berdrama. Sana testing jadi artis dengan sejuta wajah munafik yang elo miliki. Sok kuat banget"

"Kampret. Waktu sepertinya cepat berlalu ya. tahun 2013 lalu Arif pernah membawaku kesini juga. Dan ditahun 2014 Rizky juga membawaku kemari, bedanya dengan sekarang sudah ditambah pernak pernik layaknya Bali khas Medan nya. Kemudian pada akhirnya mereka meninggalkanku juga. Dan ditahun 2017 ini kamu membawaku juga kemari setelah sekian lama ngga aku kunjungi, sepertinya kamu juga berniat begitu"

"Apaan? Gue ngga bakal ninggalin elo lah, gue kan cuma dinas diluar kota. Kita bisa vidio call-an kalau kamu merindukanku."

"Sudahlah, Gue laper. Traktir dong komandan."

"Gue bener-bener ngga bisa menebak gimana jalan fikiran lo, gue sayang sama elo. Bisa kasih gue sedikit waktu?"

"Elo mau ngapain? waktu apaan? Gue masih kecil tau"

"Elo uda 20 tahun kali, 3 tahun lagi waktu yang pas untuk memulai berumah tangga"

"Weehh, gue ngga tau soal itu belom kefikiran. Just see later nyong."

Menghabiskan waktu hingga larut ditengah pantai juga pilihan yang baik, setidaknya walau berjuta dolar topeng manusia yang kau hadapi, tapi dipantai tidak akan kau temuin hal seperti itu. Karena biasanya tujuan orang-orang ke pantai juga untuk menenangkan diri sembari berlibur dari penatnya dunia bukan?

2 Times in JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang