Gemerlap dunia entertainment memang begitu menyilaukan. Dipenuhi senyuman dan kebahagiaan, bergelimang kemewahan dalam tiap langkah yang mereka pijak. Mereka yang ada di televisi adalah sempurna, tanpa cela mereka menampilkan diri dengan kemampuan yang luar biasa. Banyak dari mereka begitu dikagumi, diinginkan kehidupannya untuk dimiliki. Dipuja dan puji, mimpi untuk menjadi apa yang terlihat di televisi tak lantas menjadi mudah untuk dilakukan.
Tak lain halnya dengan Seungkwan. Melihat bagaimana para penyanyi dan idol beraksi di televisi selalu menjadi hal yang menyenangkan baginya sedari kecil. Berdiri di atas panggung, tersorot kamera dan membiarkan seluruh Korea menyaksikannya menyanyi adalah apa yang diimpikannya selama ini. Mimpinya tidaklah mudah, tapi bukan berarti tak berusaha. Meski begitu, komentar mereka ketika audisi untuk menjadi trainee di agensi-agensi begitu menyakitkan. Mereka bilang ia terlalu gemuk untuk menjadi seorang idol, ada pula yang berkata bahwa ia tak cukup berbakat dan menarik untuk tampil di televisi.
Ah, intinya, Seungkwan saat ini menyerah untuk itu. Tak ingin lagi rasanya mengingat memori buruk yang menyakiti harga dirinya. Mimpinya memang besar, ia paham bahwa pengorbanan perlu dilakukan. Namun, realita lebih menyakitkan, dan Seungkwan tak mampu untuk melawan luka di hatinya. Nyatanya, ia tak mampu menerpa kerikil yang mengganggu di jalan menuju apa yang diinginkan olehnya. Padahal, jauh-jauh Seungkwan merantau dari Jeju hanya untuk mengejar mimpinya sebagai remaja delapan belas tahun yang baru menyelesaikan sekolahnya.
Gagal bukan berarti lupa. Keinginan untuk menjadi penghibur di televisi tetap ada, entah sampai kapan ia akan menyimpannya, hingga keberanian datang lagi padanya. Tapi, untuk saat ini Seungkwan harus puas dengan mengangumi para idol dari layar televisinya dan bukannya menjadi mereka. Hatinya sudah cukup terhibur dengan penampilan mereka yang begitu memukau, seperti apa yang tak mampu dicapai olehnya. Berada jauh dari rumah, kini ia bekerja di sebuah café kecil untuk tetap berada di Seoul demi mencintai apa yang menahannya di sana.
Hidupnya kini pun tak kosong hanya karena kegagalan yang menimpa. Pekerjaannya sebagai pelayan café memang bukan sesuatu yang patut dibanggakan, namun setidaknya hal itu memberinya sedikit kebahagiaan. Rekan kerjanya, Xu Minghao dan Lee Joongchan, kini menjadi sahabat terdekatnya di Seoul. Pendapatan yang diterimanya tiap bulan pun tidaklah kecil, terima kasih pada kebaikan atasan cantiknya, itu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada tiap shift kerjanya, Seungkwan tak pernah lupa untuk memamerkan senyum di wajahnya. Candaan selalu diberikannya pada tiap pelanggan, keberhasilan untuk mengundang tawa adalah seratus persen untuknya. Selentingan cerdik pun tak pernah gagal terlontar dari bibir, happy virus adalah bagaimana Jeonghan, sang pemilik café, menjulukinya. Saat ini, kehidupannya adalah cukup, setidak-tidaknya ia mampu menghibur meski tak lewat tayangan di televisi.
Satu hal lagi yang kemudian membuat hidupnya lebih berarti. Sesosok idol hadir dalam kesehariannya, Seungkwan begitu mengidolakannya, memuja tiap langkah kakinya. Dalam sedihnya, wajah idol yang menjadi wallpaper ponselnya adalah apa yang mengobati. Ketika lelah datang, musiknya seketika menghilangkan beban yang mengganggu. Dia memang berbeda, tak seperti stereotip yang menempel pada idol lainnya. Seseorang yang pantas untuk dipuja dunia, menurut opini Seungkwan.
Selalu tampil sebagai diri sendiri, sang idol tak pernah menutupi emosi dengan senyuman di wajahnya. Dia berdiri di panggung dengan kepribadian yang sama dengan apa yang dimilikinya di belakang kamera. Dari parasnya, idol-nya pun terlihat berbeda, dia tak terlihat seperti keturunan Korea jika tak memperkenalkan diri dengan seluruh namanya. Dia menyandang dua tanda keluarga dalam namanya, milik ayah dan ibunya. Hansol Vernon Chwe namanya, dan Seungkwan beserta penggemar lainnya memanggilnya Vernon seperti apa yang diinginkan oleh sang idol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Takdir : Spin - Off
FanfictionMereka bilang, bahagia adalah pasti. Tattoo hitam di pergelangan tangan adalah takdir yang menghendaki itu. Namun, dalam kehidupan tentu tak hanya ada kebahagiaan di sana. Kini, mereka akan bercerita bagaimana keberadaan tattoo itu kemudian mampu un...