**
Langit sudah gelap.
Aku melewatkan matahari terbenam, karena keadaanku kembali membuat tubuhku mematung. Aku diam, sembari memandangi pergelangan tanganku yang berada digenggaman seseorang. Ada apa dengan hari ini? Memang semesta jarang berpihak padaku. Pertama, aku terjebak di antara Julia dan Dikara. Kini, justru lebih parah lagi.
Ed yang berjanji menjemputku setelah adzan magrib, nyatanya tidak segera datang. Aku melirik jam tanganku, tersisa lima menit sebelum adzan magrib. Tangan Dikara masih menggenggam pergelangan tanganku sampai kita berdua berdiri di depan mobil mama. Dia mendorongku untuk masuk, kemudian dia duduk di balik kemudi.
"Gue dijemput Ed," kataku. Hanya kalimat itu yang berhasil kutemukan.
"Iya. Gue tahu."
"Nggak usah dianter," kataku, lagi.
Dikara menatapku. Matanya sedikit menyeramkan. "Gue nggak mau anter lo pulang."
"Kita mau ke mana?"
"Makan mie ayam," sahutnya, lalu menyalakan mesin mobil.
"Kenapa makan mie ayam?"
Dikara mendesah. "Nggak mau? Lo sudah bosen makan mie ayam bareng gue?"
"Katanya, lo benci sama gue."
Dia tidak menjawab, kemudian melajukan mobil mama meninggalkan rumahnya. Dia menembus jalanan dengan cepat. Aku hanya mendengus kesal, lalu menatap lurus ke jalanan di depan sana. Ramai sekali. Jam pulang kerja, jadi banyak ditemui ojek online berseragam hijau itu.
"Kenapa nangis?" tanyanya, tanpa menatap ke arahku. Dia sibuk mengemudi.
"Nggak nangis," jawabku, ketus. Kenapa tubuhku memanas?
Dikara menghela napas berat. "Nggak usah bohong."
Aku memiringkan wajahku, kemudian bermain-main dengan uap rintik hujan yang menempel di kaca. Lalu, "Kalau benci, nggak usah sok peduli."
Dikara kembali menghela napas. Dia berdeham sebentar untuk menarik perhatianku dari kaca, sebelum berkata dengan suara yang tenang, "Kalau gue bener-bener benci sama lo, lo mau apa?"
Aku mengangkat bahu. "Pasrah."
"Kenapa pasrah?!" tanya dia. Nadanya naik, seolah dia tidak terima.
Aku meliriknya, lalu menyipitkan mata. "Lo mau gue sujud di kaki lo gitu, supaya lo nggak benci sama gue? 'Don't beg to be loved, don't beg someone to stay if they wanna go. Just let them go'... Gue percaya sama kata-kata itu. Jadi, kalau lo sekarang benci sama gue, ya... gue terima. Dan, gue pantas dapet semua ini. Gue akan terima karma ini dengan baik, Dikara. So, don't worry too much," jelasku, panjang-lebar.
"Lo pikir, gue mau pergi?" tanyanya. Sebelah alisnya terangkat.
Kedua alisku menukik tajam. "Lo nggak jelas banget, sih!"
"Don't let me go."
Amarah nyaris membuat suaraku naik 2 oktaf. Namun, aku mengelus dada untuk menahannya. Aku tidak tahu, aku ingin sekali berteriak di depan wajahnya. Perasaan yang kutahan sejak lama. Aku ingin memberitahunya, bahwa aku juga tidak ingin melihat dia pergi. Namun, dulu, dia sendiri yang memilih pergi. Dia yang membuat keputusan sepihak, kemudian mengabaikan keberadaanku. Semester akhir adalah neraka, tiap kali memori itu kembali menguasai diriku. Tentang Dikara yang bertingkah seperti orang asing. Tentang aku yang akhirnya melakukan mirroring, melakukan apa yang dia lakukan padaku. Kami sama-sama terlalu gengsi, kemudian melewati jalan yang berbeda tak mau lagi bertegur sapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓
Fanfiction[Original Fiksi/Completed] - "Jatuh cinta sama orang yang jatuh cinta sama orang lain itu nggak boleh, ya?" (Brave Series #1) Depresi akibat gaslighting yang dilakukan mantan pacarnya membuatnya melarikan diri ke New York. Dan setelah tiga tahun, Ce...