Bab Tujuh: Fiance ✓

3.5K 463 51
                                    

**

Tidak semua perasaan diberikan rumah untuk tinggal. Terkadang perasaan ada yang dibiarkan pulang tanpa kemenangan.

**

Kejadian malam itu masih terasa nyata. Bibirku juga masih bisa merasakannya. Dan, ya, itu memang nyata. Berulang kali pun aku mencoba menyembunyikan itu seperti wanita pengecut, kejadian itu tidak akan terhapus begitu saja. Memoriku sudah merekamnya dengan baik, seolah memberiku bukti bahwa aku memang setan di kisah ini.

Semua yang terjadi hari itu memang nyata adanya. Dengan disaksikan angin malam dan cahaya bulan, kami membuat kesalahan besar. Sekali lagi, kami mendobrak pintu yang telah dikunci oleh Tuhan. Kami meruntuhkan tembok pembatas itu dengan ganasnya. Betapa keras kepalanya manusia-manusia yang sedang jatuh cinta. Semuanya buta, entah mana yang benar dan salah.

Opposite.

Aku menuangkan air putih ke dalam gelas kosong, namun pandangan mataku tertuju ke arah lain. Kosong, hampa, bingung, dan gelisah. Semuanya bercampur menjadi satu, lalu aku diserang lagi. Beruntungnya, air mataku sudah jauh lebih kuat. Aku tidak menangis.

Namun, aku masih belum bisa bernapas dengan baik, setelah Adinda memberitahuku sebuah informasi yang tidak pernah aku harapkan akan datang. Sesungguhnya, aku sudah menghindari Dikara selama sebulan ini. Selain karena dia sibuk dengan proyeknya, aku juga tidak mau bertemu dengannya. Aku pun juga meminta bantuan Maura untuk mengambilkan tas kesayanganku yang tertinggal di rumah Dikara. Karena Maura tidak banyak omong dan kepo, jadi kurasa dia adalah orang yang tepat. Seharusnya tas itu kubawa pulang saat aku makan malam di sana, tapi aku ternyata lupa. Lagi dan lagi, isi pikiranku kosong begitu Dikara menyuruhku pulang bersama Ed. Tanpa penjelasan, tentu membuatku terus bertanya-tanya. Janji menonton film bersama Cherry juga terpaksa kubatalkan. Gadis remaja itu tidak protes, tapi kutahu bahwa aku sudah membuatnya kecewa.

Mendung abu-abu seperti melayang di atas kepalaku.

Dear my blue.

Kafe baruku sudah dibuka seminggu lalu, banyak teman-temanku yang datang. Dan, aku tidak bisa mengatur takdir, namun Kak Reo dan Kak Brian datang hampir bersamaan. Mereka jelas sekali tidak saling menyukai. Omong-omong, hubunganku dan Kak Reo masih saja dingin. Kami hanya berbasa-basi tanpa arti. Dia yang biasanya selalu berani mendekatiku tiba-tiba menjadi batu. Mungkin, tinju Dikara masih membekas di wajahnya jadi dia tidak berani lagi untuk berada cukup dekat denganku. Dan, karena hal itu, aku bersyukur. Berkat Dikara, satu beban di bahuku berhasil kubuang jauh-jauh. Meskipun, tentu, trauma masa lalu itu tidak akan hilang semudah kita membalikan telapak tangan. Aku menikmati prosesnya, perlahan-lahan, sampai semua mendung itu berlarian ke sana-sini meninggalkanku.

Selama satu bulan ini, aku berusaha mengubur harapanku sendiri. Tiap tengah malam, aku akan berdiri di balkon dan menatap langit. Dingin sekali, namun aku menyukainya. Patah hatiku jadi tidak terlalu menyakitkan. Mungkin juga, aku justru membuat patah hatiku jauh lebih pedih. Namun, semua akan baik-baik saja? Kubiarkan pedih mengambil alih, asalkan nanti semuanya bisa berjalan normal.

Aku masih bisa hidup tanpa Dikara, aku meyakini itu.

"Cer, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Adinda dengan suara lirih. Dia mengusap bahuku dan memelukku. "Maafin gue, ya. Gue tadinya nggak mau kasih tahu lo, tapi gue juga nggak mau kalau lo tahu paling terakhir. Gue juga kaget, sama kayak lo. Maaf, ya, Cer."

Aku memaksakan seulas senyum. "Bukan salah lo, Din. Nggak perlu minta maaf."

Sejak tadi pagi sampai jam dinding di apartemenku menunjukan pukul lima sore, Adinda belum juga beralih. Dia masih setia menjagaku dan menghibur hatiku yang hancur berkeping-keping. Namun, ini karmaku. Ini adalah jalan yang semesta pilihkan untukku, tentang cara menghargai dan juga menjaga orang lain.

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang