Jilid 6/33

1.1K 15 0
                                    


"Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan."

"Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu."

Gangga Dewi menghela napas panjang. "Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau suka menolongku, Yo Han."

"Menolong Locianpwe?" Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?" Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

"Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan tapi sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya."

Dua pasang mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.

Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk. "Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus mengetahui siapa namanya, bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain."

"Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik."

"Bukan menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?"

"Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio..."

"Ahhh... Tiong Khi Hwesio...?" Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

"Ya, kenapa, Yo Han?" tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. "Apakah engkau mengenal nama itu?"

"Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku."

"Ehhh?"

Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini.

"Bukankah gurumu Ang-I Moli tadi?"

"Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku kehilangan orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir."

"Wahh... Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subo-mu itu? Katakan, siapa nama mereka?"

"Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?"

Gangga Dewi menggelengkan kepalanya. "Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?"

"Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng..."

"Ahhh...! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu."

"Suhu-ku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi."

"Kalau begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao..."

"Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir..."

"Ahh, kalau begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!"

"Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es."

"She Suma...?"

"Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui..."

"Omitohud...! Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?"

"Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe..."

"Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi."

"Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku tidak pernah mau berlatih silat sebab aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku."

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

"Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?"

"Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga, dan tidak ingin menang dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?"

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan marah. Tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

"Lalu, kalau suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?"

"Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan."

"Tapi, kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang-I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?"

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, "Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?"

"Tentu saja tidak!"

"Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?"

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. "Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subo-mu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang."

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhu-nya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya.

Tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan mereka karena kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya, terutama subo-nya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dan subo-nya.

"Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu."

"Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?"

"Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggota keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun."

"Suma... Ciang... Bun...?"

Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi dia cepat menguasai perasaannya. "Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han."

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri.

Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhu-nya bahwa tiga orang guru dari suhu-nya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subo-nya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang