Jilid 17/33

948 12 0
                                    

Sin Hong sendiri yang akhirnya mendapatkan keterangan, setelah para pengemis lain hanya mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu. Salah seorang di antara mereka menerangkan bahwa pengemis tua bongkok itu datang dari selatan dan merupakan seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan sering berlaku sewenang-wenang terhadap para pengemis lain. Bahkan Phoa-pangcu, yaitu ketua para pengemis di kota Heng-tai, pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-wenang itu.

"Kau tahu siapa dia?" Sin Hong bertanya.

"Dia hanya mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam)," jawab pengemis itu.

"Dan engkau melihat dia bersama seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang berpakaian serba merah?" Sin Hong mendesak.

Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apa lagi ketika ia bertemu kembali dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, ketiga orang itu pun sama sekali tidak menemukan jejak Sian Li.

"Sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehilangan anak itu kepada Adik Suma Ceng Liong," berkata Suma Ciang Bun. "Dengan demikian maka dia pun akan dapat membantu kalian mencari jejak. Sedangkan kami sendiri akan melanjutkan usaha kami mencari jejak Sian Li."

Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha mereka mencari jejak Sian Li.

Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang karena menurut pengakuan Ang-I Moli, Yo Han kini berada di perkumpulan pemberontak itu.....

*****

Ke manakah perginya Sian Li? Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia merasa kesal untuk berdiam diri di kamarnya saja. Maka, setelah menanti dua jam di kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan maksud untuk berjalan-jalan menghilangkan kekesalannya.

Gadis kecil ini tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari dalam kamarnya, sepasang mata sudah mengikutinya, sepasang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan lain adalah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman.

Dia adalah seorang di antara anak buah Ang-I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat. Sejak tadi, dia mendendam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dikalahkan ibu gadis itu. Hanya karena takut kepada Ang-I Moli saja dia pergi meninggalkan mereka ibu dan anak. Dan kini, selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perempuan berpakaian merah yang manis itu keluar dari dalam kamarnya, seorang diri pula.

Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat. Jika dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan juga tidak mengurangi kekuatan penjagaan. Dia harus dapat membalas rasa penasaran dan dendamnya tadi, sekaligus bersenang-senang.

Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya menjadi seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ketika Sian Li tiba di tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah penginapan.

Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau berteriak, Hek-bin-houw telah menubruk dan menyergapnya bagai seekor harimau menubruk kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah menotok jalan darah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu memanggul tubuh anak perempuan yang tak lagi mampu meronta itu dan membawanya loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang sudah tidak mampu bergerak.

"Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk ke dalam kuil kosong itu.

Dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan kotor. Tempat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam bagi para gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal.

Mendadak nampak sinar yang biar pun hanya kecil, akan tetapi karena munculnya tiba-tiba dan di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi seluruh ruangan dan mengejutkan, juga sangat menyilaukan mata. Hek-bin-houw terkejut dan menoleh.

Kiranya sinar itu adalah nyala api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel. Sekarang lilin itu diletakkan di sudut, di dekat kakek jembel yang duduk bersila sambil memandang kepada Hek-bin-houw dan Sian Li dengan sinar mata penuh selidik.

"Ha-ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jembel itu.

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia dimaki anjing!

"Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti? Ayo cepat menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut golok dari pinggangnya dengan sikap mengancam.

Kakek jembel itu terkekeh, lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.

"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya? Ha-ha, memang tepat, engkau memang persis anjing bermuka hitam. Dan aku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing muka hitam."

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini.

"Jahanam busuk, rupanya engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu. Akan tetapi, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu lalu menggerakkan tongkat bututnya yang berwarna hitam untuk menangkis.

"Trakkkk...!"

Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besarnya tenaga yang terkandung dalam tongkat hitam itu pada waktu menangkisnya tadi.

Akan tetapi, dasar orang yang selalu mengandalkan tenaga dan kepandaiannya sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang selalu memandang rendah terhadap orang lain, Hek-bin-houw masih belum mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bongkok dapat menandinginya.

"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia pun menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.

"Manusia tidak tahu diri!"

Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tangkisan itu membuat tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan.

Hek-bin-houw berteriak nyaring dan goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya. Hek-bin-houw lantas terkulai roboh dan tidak dapat bangun kembali!

"Heh-heh-heh-heh, ada saja jalan bagi orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu.

Dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mampu bergerak. Gadis kecil itu memandang kepada pengemis yang berdiri mengamatinya dengan mata terbelalak, tapi sama sekali tidak kelihatan takut.

"Heh-heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas saja anjing hitam itu menculikmu. Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak manis!" Sekali tongkatnya bergerak dengan amat cepat, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh Sian Li.

Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi dia segera dapat berdiri tegak dan dengan sikap tegas dia berkata,

"Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."

"Ehh? Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apakah engkau lebih suka ikut dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak bernyawa lagi.

"Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah dan Ibuku!"

"Tapi, engkau telah kutolong!"

"Aku tidak pernah minta pertolonganmu."

"Huh, engkau manis tetapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"

"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan.

Melihat gadis cilik ini memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Ia mengenal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sinkang yang mendatangkan kecepatan dan kekuatan.

"Hayo ikut!" katanya dan tangan kirinya menyambar.

Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat, maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di lain saat, Sian Li telah tertotok kembali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan hinggap di pundak pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari cepat di dalam kegelapan malam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek pengemis bongkok itu telah keluar dari kota Heng-tai sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.

Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu? Dia adalah seorang tokoh persilatan yang terkenal, namun dia termasuk tokoh sesat yang suka mengandalkan kepandaian untuk memaksakan keinginannya dan tak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat walau pun di selatan dia mempunyai perkumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) di mana ia menjadi ketuanya. Karena dia seorang petualang yang suka berkelana, maka perkumpulan itu sering ditinggalkan olehnya dan dia serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.

Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, perbuatan itu dia lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menentang dan menyerangnya. Akan tetapi, pada saat melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya.

Saking lelahnya, pada waktu dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menyadarkannya dan kini, biar pun tubuhnya tak tampak bergerak, ia dapat bersuara dan berulang-ulang minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya.

Pagi itu amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta tolong.

Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan. Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga supaya suaranya terdengar lantang.

"Kakek jahat, lepaskan aku!" teriaknya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu menengok, lalu nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.

Melihat ini, Sian Li berkata lagi.

"Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"

"Heh-heh-heh, aku tidak takut kepada ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.

"Engkau tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau akan mati berdiri!" kata pula Sian Li.

Sian Li melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya.

Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya hanya gertakan belaka.

"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangau Putih! Sedangkan ibuku adalah keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.

"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.

"Siapa membual? Ibuku itu bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es!"

Sekarang Hek-pang Sin-kai tak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa anak ini tak mungkin membual karena dari mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.

"Bagus! Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi muridku!" katanya gembira dan bangga. Kalau dia dapat mengambil murid keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat tinggi sekali!

Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat serta tangan kirinya untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, sudah dirampas orang!

Pada saat dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan telah membebaskan totokan atas diri gadis cilik itu.

"Anak yang baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping.

Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di pinggir jalan yang masih sunyi itu sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.

Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka nenek itu. "Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani menentang Hek-pang Sin-kai?"

Nenek itu tersenyum dan sungguh amat mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam puluh tujuh tahun itu, yang seluruh rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini pada waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat.

Memang dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar Kam Hong yang dahulu terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, di samping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoi-nya (adik seperguruan) dan sudah menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) serta Kim-kong Sin-im (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas).

Di samping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sinkang gabungan Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari mendiang Pendekar Super Sakti!

"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk menghajarmu sampai engkau bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"

"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku ini menamatkan riwayat hidupmu."

Senyum itu masih belum hilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang berkabung, namun sangat rapi dan bersih itu.

"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."

"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah menerjang dengan tongkatnya.

Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja ia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunakan tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek itu bertangan kosong. Dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya.

Tongkat hitam itu seperti seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung tongkatnya membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah terpenting di bagian depan tubuh! Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut.

"Hemm, kejam sungguh!" Nenek Bu Ci Sian berseru lirih.

Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, totokan berikutnya terus mengancam dirinya sehingga dengan terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.

Segera nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga mengejutkan hati Hek-pang Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi dirinya dari suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal.

Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya!

Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung sebab selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.

Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walau pun dahulu di waktu mudanya dia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat. Setelah menjadi isteri suheng-nya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan pembunuhan.

Walau pun ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan dapat merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, sekarang ia hanya mempergunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tak terlalu keras ke arah pundak, punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki ibunya!

Maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai kemudian meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba ia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah. Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu digunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran.

Tongkat meluncur dengan kecepatan bagai anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek Bu Ci Sian.

"Hemmm...!"

Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat itu, dan begitu tongkat yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar sehingga tongkat itu berputaran menempel pada suling.

"Hyaaattt...!"

Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang tadi sudah terputar-putar melekat pada suling itu sekarang tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang telah melarikan diri! Tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang!

Kakek jembel itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut jika dikejar dan dibunuh, ia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang menembus paha kirinya.

Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.

"Nek, kenapa tidak kau bunuh saja kakek jembel jahat itu?"

Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dengan alisnya berkerut. "Kenapa harus dibunuh?" tanyanya.

"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau sudah membebaskan mereka yang akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."

Nenek Bu Ci Sian terbelalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal ampun terhadap orang jahat. Ia pun tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.

"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui?"

Sian Li memandang tajam, "Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"

"Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma Ceng Liong?"

"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon guruku."

"Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakuan itu.

"Engkau menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"

"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau, Nek?"

Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan sangat berhati-hati. "Engkau sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya."

"Tentu saja. Nenek Kam Bi Eng amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin Liong dan kami bertemu di sana."

"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."

"Aihhh, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" berkata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil berlutut.

Nenek itu girang sekali, lalu mengangkat bangun anak itu dan memeluknya. "Engkau bahkan sudah mengenal namaku?"

"Tentu saja. Sejak aku kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut Kam Hong yang berjulukan Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru aku bisa melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."

"Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah ibumu?"

Sian Li menceritakan tentang pengalamannya dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang persekutuan di antara Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena Sian Li memang cerdik dan ia telah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.

"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu kini tengah menghadapi urusan besar yang menyangkut keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau diculik orang dan tidak kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon gurumu?"

"Sebetulnya, aku bersama Ayah dan Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."

"Aih, begitukah? Bagus sekali jika begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke rumah anak dan mantuku itu."

"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung. Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan..."

"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu, kemudian mereka mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"

"Aku tidak takut, Nek."

"Ini bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari bahaya, apakah kita harus kembali mendatangi bahaya dan membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah sekali. Sebaiknya, marilah kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung ke Ta-tung untuk memberi tahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."

Akhirnya Sian Li menurut karena bagaimana pun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka berdua ke Cin-an dan mereka diterima dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.

"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.

Ditanya demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang ia khawatirkan, namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia adalah seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.

"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya.

Nenek itu menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"

"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu beramai-ramai kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" berkata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.

"Engkau benar. Usianya memang sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan tenang sebulan yang lalu..."

"Ibuuuu...!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu, kenapa...? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberi tahu?" Ia bertanya di antara ratap tangisnya.

Nenek itu tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Akan tetapi, Ibu, mengapa kami tidak diberi tahu mengenai kematian Ayah?"

Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya. "Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan supaya begitu dia menghembuskan napas terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya. Ini adalah pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."

"Tapi... tapi mengapa...?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.

"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tak ingin jenazahnya dibiarkan berminggu-minggu atau berhari-hari membusuk sebelum dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya, orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat dibayangkan betapa sedihku saat terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu, menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri oleh para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."

Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk menangis lagi. Ia merangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"

"Panjang ceritanya," kata nenek itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."

Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi.

Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya sangat besar karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."

"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?" tanya Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.

Ceng Liong mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"

"Tentu saja tidak. Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga untuk mencari mereka," kata isterinya penuh semangat.

"Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali ke kota raja dan mencari mereka."

"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."

"Sian Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai seorang murid, dan dia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.

Suami isteri itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam, lalu berteriak, "Sian Lun...! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang!"

Dari arah belakang terdengar jawaban. "Teecu datang, Subo!"

Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini walau pun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.

"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."

Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan menyuruhnya bangun berdiri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"

"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. "Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama tamu, maka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."

"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun."

Dua orang remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang kepada Suma Ceng Liong, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.

"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek dan Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Susiok (Paman Guru)..."

Suma Ceng Liong tertawa. "Memang harusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, maka berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."

Wajah Sian Li berseri-seri. "Aihh, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak Seperguruan)! Memang aku jauh lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit lebih tua dari padaku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan dari pada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang lalu tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.

"Sumoi...," katanya lirih.

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci Sian. Akhirnya nenek ini setuju bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.

Karena Sian Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja, melakukan perjalanan secepatnya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!

Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat dan kini berada di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan dengan pesta keluarga, walau pun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung dan berduka.

Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang. Mereka ke sini untuk bersembahyang di depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.

Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk turut dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.

"Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang ayahmu? Sekarang ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kelak kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."

Biar pun hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalkan ibunya seorang diri di istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Dia kembali ke Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li.

Ada pun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, pada setiap tahun baru mereka pasti akan datang berkunjung.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang