Jilid 14/33

990 12 0
                                    

"Ahhh, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.

Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."

"Ehh, kenapa begitu, Suhu?"

"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."

Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.

"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya lalu kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."

Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, serta mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

"Ciu Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.

"Yo Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.

Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"

"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"

"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"

Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.

"Suheng, muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng!"

"Jangan, Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."

"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"

"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."

Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat keji dan jahat. Maka kini dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.

Ciu Lam Hok memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu. Dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser sehingga nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat untuk berhenti, kemudian dia tertawa.

"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian berdua saja turun ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.

Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu sudah menjadi manusia tapa daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?

"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."

"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"

"Yo Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."

Tidak lama kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!

Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah.

Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.

"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"

"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."

Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup dengan batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.

Puluhan orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk bergemuruh.

Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat ditutup. Meski orang memiliki kepandaian seperti dewa sekali pun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter lebih itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.

Yo Han mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata panjang terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!

Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.

Keadaan dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.

"Ahh, apakah itu, Suhu?"

"Ha-ha-ha, mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."

Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang-I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!

"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati, jangan sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari supaya tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan oleh orang di atas."

"Suhu, mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita dapat mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."

"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanyalah Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."

Pemuda remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"

"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"

"Tapi... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"

"Hushh! Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Mengerti? Sekali saja engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."

"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan melihatku. Apa lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"

"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."

Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu..."

Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.

"Waduh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Cara ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu."

Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu. "Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"

Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.

"Apakah ini, Suhu?"

"Emas."

"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.

"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"

Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.

"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."

"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun, gunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan rasa lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."

Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!

Perlahan-lahan dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han sudah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan 'tarian cecak' ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.

Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.

Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang kecil. Mulut goa nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.

Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian sempitnya, dan andai kata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat bahwa goa terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!

Lebih baik lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya.

Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati dan mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak genteng banyak rumah.

Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.

Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang dan menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.

Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok, piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.

Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.

Ia kembali ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian.

Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.

"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya.

Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.

Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulutnya, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.

"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."

"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dahulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."

"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dengan nada suara yang terdengar tegas dan mantap.

Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang baru kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"

"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasehatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, selalu menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh serta saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andai kata sejak kecil ibuku tidak pandai silat seperti ayahku, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"

"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Jika ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"

Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan bersungguh-sungguh. "Kenapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati pun ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?"

"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Bila Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak ada seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tanpa ada yang mengganggu pun ia akan mati sendiri, ha-ha-ha!"

Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu lagi membantah kebenaran itu.

"Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu saja mereka itu tewas hanya karena Tuhan telah menghendaki mereka mati. Andai Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa!"

Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimana pun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"

"Jahat? Ha-ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihatlah barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"

Yo Han memandang gurunya dengan heran dan dia cepat menjawab. "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu bisa kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat perabot dari kayu dan sebagainya."

Kembali kakek itu tertawa. "Lalu bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Jahat atau baikkah kedua tanganmu itu?"

Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."

"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, lalu gunting itu untuk menusuk perut orang, pisau untuk menyayat leher orang, dan jarum untuk disambitkan menyerang lawan, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"

Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi... tapi..."

"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"

"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.

"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Jika engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi bukan benda-benda itu yang menentukan, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik bila sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang disembunyikan di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti tanganmu, dapat digunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, juga bisa digunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"

Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Kini aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada di dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Ada pun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"

"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya jika batinnya sudah kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."

"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"

"Nah, sekarang kita kembali pada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Jika ilmu silat tidak digunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Tetapi setelah digunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat digunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu silat itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Kenapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain itu juga untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Ilmu silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!"

Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasehat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya ketika ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.

Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subo-nya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subo-nya itu. Suhu dan subo-nya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.

Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa. Bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.

Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu. "Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya."

"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, sejak saat ini engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan? Terutama sekali Bu-kek Hoat-keng?"

Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan kelak teecu akan mendapat bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."

"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."

Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu sama sekali tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biar pun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.

Namun Yo Han belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apa lagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu 'tari' dan 'senam' yang sebenarnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu dia sudah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subo-nya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walau pun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.....

SI BANGAU MERAH (seri ke 14 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang