"Assalamu'alaikum!" Ucapku saat sampai di depan rumah.
"Wa'alaikumussalam," itu kedua orangtuaku yang jawab.
Aku mencium tangan kedua orangtuaku, ah ternyata ada para Bibi di rumah Kakek yang tempatnya bersebelahan dengan rumahku. Aku menghampiri mereka dan kembali mengucap salam serta mencium tangan mereka satu persatu.
"Gimana hari pertama?" Tanya Kakek.
"Ouuuh, baik dong ..., apa lagi tadi pas pulang di angkot itu penuh terus rame, orang-orangnya rusuh haha." Aku menceritak pengalaman pertamaku masuk SMP pada mereka. #Kayak anak SD deh. #Emang baru lulus SD, 'kan?"
"Eh iya, ini ada tugas, mulai besok gak boleh bawa tas, harus bawa kantong keresek, terus atribut harus lengkap, dasi, sabuk, topi daaaaaan lain-lain." Tuturku panjang lebar. Aku membacakan semua hal yang harus di bawa selama masa orientasi.
"Nah, untuk besok disuruh bawa, kue waktu bagus, buah bersisik, buah malam minggu, air anak desa, sama pocong hijau."
"Haaaaaah? Pocong hijau?" Mereka terperangah kompak, termasuk kedua orangtuaku yang entah dari kapan sudah bergabung. #Biasa aja dong! A-nya kebanyakan.
Aku mengangkat bahu lalu menggelengkan kepala, "pokonya, yang aku tahu itu, buah bersisik sama dengan buah salak, terus kalo gak salah buah malam minggu sama dengan buah apel, air anak desa itu air merek ADES. Kalo kue waktu bagus sama pocong hijau gak tau apa, ada yang tahu gak?" Tanyaku akhirnya setelah menjelaskan.
"Yaudah, nanti malem Kakek ke kuburan nyari pocongnya, terus kita warnain bareng-bareng." Ucap Kakekku datar, lemmpeeeeng banget ngomongnya.
"Iiih bukan itu! Masa kesekolah bawa-bawa pocong mau dimasukin kemana? Pake kantong keresek gak muat!" Ucapku kesal, sementara yang lain tertawa.
"Ya enggaklah, bukan, bukan pocong beneran. Nanti ajalah yang pocong itu mah, sekarang kamu ganti baju, mandi, solat, makan, abis itu belanja apa yang kamu butuhin buat besok." Kata Ibuku.
"Iya gih sana manadi, muka udah kusut gitu." Ucap salah satu Bibiku.
"Iya iya, eh, tanya om Dinur aja kali ya, dia 'kan alumni SMPN 1 Cipeundeuy, pasti tau." Aku menatap mereka satu persatu.
"Iya nanti ditanyain, sekarang masih kerja, nanti nunggu pulang," ucap Ibuku lagi.
"Oke," aku beranjak keluar dari rumah Kakek menuju rumahku lalu masuk ke kamar untuk ganti baju, setelah itu mandi, solat, makan, dan bersiap untuk belanja ke toko yang jaraknya agak jauh dari rumah, tapi masih bisa jalan kaki.
"Bu, mana uangnya?" Aku menghampiri ibuku di dapur yang tengah menyalakan api untuk memasak. Keluargaku masak masih menggunakan tungku dan kayu bakar ngomong-omoang.
"Berapa?" Tanya Ibu.
"Gak tau, bentar aku itung dulu." Aku mengecek buku catatan untuk menghitung perkiraan berapa uang yang cukup untuk beli peralatan dan makanan bernama pelesetan aneh itu.
"Dua puluh ribu cukup kayaknya," aku menutup buku catatan itu.
"Yaudah, tuh sana minta ke bapak." Ucap Ibuku masih sibuk dengan korek api dan daun kelapa kering untuk menyalakan api di tungku.
"Diiih, kirain nanya 'berapa?' Mau ngasih," gerutuku sambil berjalan menghampiri bapak yang tengah merokok ria di kursi depan rumah.
"Pak," aku mengulurkan tangan meminta.
"Apa?" Bapakku mengerutkan dahi.
"Buat belanja, dua puluh ribu." To the point.
"Di Ibu," kata Bapakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biar Kuceritakan
AdventureDi dunia ini gak ada yang instan, semuanya butuh proses. Mie instan aja harus direbus dulu baru bisa dimakan. Kalaupun suka yang mentah, tetep harus dibuka dulu 'kan bungkusnya? Segala hal, gak ada yang statis, semuanya dinamis. Begitupun kehidupan...