13. Dramatic Irony

2.4K 477 431
                                    

Dokter yang merawat Hee Sae pernah menjelaskan, bahwa salah satu terapi yang bisa Hee Sae lakukan untuk mengatasi traumanya adalah dengan berhadapan langsung dengan yang ia benci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dokter yang merawat Hee Sae pernah menjelaskan, bahwa salah satu terapi yang bisa Hee Sae lakukan untuk mengatasi traumanya adalah dengan berhadapan langsung dengan yang ia benci. Hee Sae pernah mencoba beberapa jenis terapi, namun tidak dengan berhadapan langsung dengan target sumber kecemasan. Hee Sae bersumpah ia takkan sudi menjalaninya namun semua berubah sejak ia menginjakkan kakinya di Seoul. Mau tak mau ia menjalaninya tanpa sadar. Situasi yang menuntutnya berada di sekitar Byan sesering mungkin meski dalam waktu singkat. Membuat Hee Sae tanpa sadar terbiasa hidup bersandingan dengan yang ia benci.

Jujur, rasa percaya diri Hee Sae kini mulai meningkat drastis setelah aksi heroiknya menolong Byan. Ia mampu mengikis rasa takutnya sedikit demi sedikit. Mengendalikan rasa cemasnya hingga tingkat emosinya terjaga agar tetap stabil. Meski tidak selalu berhasil, setidaknya terjadi kemajuan pesat pada kontrol diri tubuhnya.

Benar kata orang, menghindari masalah bukanlah hal yang baik. Meski tentu berbeda konteks pada pasien pasca trauma seperti Hee Sae. Berhadapan langsung dengan ketakutannya bisa jadi membahayakan dan berpotensi meningkatnya trauma.

Lantas Hee Sae ingin memantabkan hati, selagi ia di sini bersama sang objek yang digadang-gadang paling ia benci eksistensinya. Saat kalor dari tubuh Byan bisa ia rasa lewat usapan lembut ibu jari lelaki tersebut di pipinya, Hee Sae berusaha menikmatinya. Dorongan untuk menghindar terus bergejolak tetap ada, namun Hee Sae meredamnya dengan memejamkan mata dalam. Hingga sesekali ia lupa cara memasok oksigen ke dalam rongga dadanya.

"Jangan coba menghindariku lagi mulai dari sekarang." Byan berkata begitu lirih. Setengah berbisik namun masih bisa ditangkap dengan jelas oleh rungu Hee Sae.

"Kau mungkin hanya membenci memori yang pernah kita lalui, bukan aku." Lagi, Byan berusaha mensugesti diri Hee Sae lewat doktrinnya. Hee Sae sama sekali tak berniat menjawab. Ia masih bersikap setenang mungkin saat usapan lembut jemari Byan dengan berani mulai turun ke lehernya. Menimbulkan sengatan aneh saat Byan memainkan jarinya di permukaan kulitnya yang pucat. Tangan Byan menyelinap masuk ke bagian belakang leher Hee Sae. Sedikit menekannya agar tubuh perempuan itu semakin condong ke arahnya. Entah sejak kapan Byan juga ikut mencodongkan tubuhnya. Mengikis jarak di antara keduanya.

Yang Hee Sae tahu, saat kedua maniknya terbuka ia sudah bisa merasakan terpaan nafas Byan yang menderu di permukaan kulit wajahnya.

Byan sepertinya terlalu jauh mengartikan penerimaan yang Hee Sae berikan saat ini.

"Kau bisa pergi bila kau tak menyukainya sekarang." Byan memberi penawaran. Namun lagi, Hee Sae tetap bergeming. Jarak diantara keduanya hanya beberapa centi. Jarak terdekat sejauh mereka berinteraksi setelah sekian lama kembali bertemu.

"Aku bilang kau bisa pergi sekarang."

Byan kembali memperingatkan. Namun Hee Sae yang malah balik menatapnya intens, membuat Byan merasa adrenalinnya sedang ditantang luar biasa oleh sang objek sasaran.

𝐃𝐫𝐚𝐦𝐚𝐭𝐢𝐜 𝐈𝐫𝐨𝐧𝐲 ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang