35.Dramatic Irony

1.4K 285 247
                                    

"Apa ini?"

Pertama, pagi ini Hee Sae dikejutkan oleh undangan makan siang dari Byan yang begitu memaksa. Kedua, mereka berempat―dirinya, Kris, Byan dan Wendy kini berada dalam satu meja yang sama, di sebuah restoran sepi pengunjung yang Hee Sae duga Byan sengaja mem-booking untuk mereka. Ketiga, perihal amplop cokelat yang barusan Byan sodorkan ke arahnya, Hee Sae tak mampu menebak apa isinya. Seingatnya, tugasnya memimpin proyek By MinHee sudah berlalu, tak ada lagi urusan perusahaan yang harus melibatkannya dengan Byan. Meskipun ada, Hee Sae sudah bertekat melimpahkannya pada orang lain. Persetan dengan profesionalitas, kesehatan mentalnya lebih penting. Sebab hubungannya dengan Byan terlalu banyak dicampur adukkan jauh dari kata sehat.

Ralat, hubungan mereka memang tak pernah sehat sejak awal.

"Ini adalah―"

Byan menahan tangan Wendy yang berada di atas meja. Mengisyaratkan tunangannya untuk tak melanjutkan kalimatnya. Sejak awal Wendy memang yang terlihat paling antusias berada di sini. Seolah apapun yang ia katakan mendesaknya keluar dan segera dimuntahkan. Sementara Hee Sae dan Kris tak mampu menyimpulkan apa yang terjadi hingga berulang kali menunjukkan gesture jengah berlama di sini.

"Kami tak punya banyak waktu. Kami tak bisa menitipkan Anna terlalu lama."

Vokal Kris mendesak. Perangainya yang tak pernah bersikap bersahabat dengan sosok Byan kini menyorot penuh intimidasi pada lelaki yang tepat duduk di hadapannya.

Byan terlihat berbeda, hari ini ia tak searogan yang biasa. Romannya menyiratkan kegusaran juga beberapa kali Hee Sae memergoki lelaki itu tengah mencuri pandang ke arahnya dengan tatapan sulit diartikan. Namun Hee Sae mampu menangkap kedua pualam milik Byan merefleksikan kegindahan hatinya sekarang. Ia bisa membaca isi kepala Byan tengah berpikir keras tentang hal rumit lalu berusaha merangkai kalimat untuk menyampaikannya namun selalu gagal.

Hee Sae semakin merasa ada yang janggal di sini.

"Bukankah urusan perusahaan di antara kita sudah selesai? Aku tidak lagi bekerja di perusahaan Kakek." Hee Sae kembali memancing konversasi diantara mereka. Antara penasaran bercampur muak terus menghirup oksigen di ruangan yang sama bersama dua manusia di hadapannya.

"Ayolah Byan, kau atau aku yang mengatakannya?" timpal Wendy tak sabaran. Ia mendecak gemas dengan tampang sinisnya seperti biasa.

Byan menghela napas kasar untuk kesekian kali. Ia kemudian kembali menggerakkan tangannya, menggeser amplop cokelat tersebut mendekat ke tangan Hee Sae yang berada di atas meja. Menuntut Hee Sae untuk membuka isi didalamnya tanpa perlu melisankannya.

"Jelaskan dulu," tekan Hee Sae serius.

"Aku tidak akan membukanya sebelun kau menjelaskan maksudmu membawa kami kemari," pungkas Hee Sae tegas.

"Atau kami akan pergi saat ini juga," lanjut Kris mengancam. Tubuhnya membeliak berancang-ancang untuk berdiri.

Byan semakin terdesak. Wendy mendelik ke arah Byan, mulutnya sudah gatal untuk menumpahkan tujuan mereka. Andai sebelum pertemuan ini Byan tak bersikeras untuk menjelaskannya sendiri kepada Hee Sae, pasti Wendy sudah andil berbicara langsung ke inti.

"Ini tentang Anna." Byan memulainya dengan sangat berhati-hati. Kedua bola matanya bergulir cermat, mengawasi reaksi Hee Sae dan Kris. Meski sebaik apapun cara ia menyampaikan, Byan sudah tahu respon apa yang akan mereka berikan. Terutama Hee Sae.

"Aku ingin hak asuh Anna menjadi milikku."

Byurr!

Secara impulsif Byan menutup kedua kelopak matanya saat material bening mengguyur wajahnya tanpa permisi. Segelas penuh berisi air itu sukses berpindah ke wajahnya hingga basah kuyup. Byan mengusap wajahnya tanpa berniat memprotes atau membalas. Tanpa melihatpun Byan tahu siapa pelakunya, tetapi ia tidak akan melawan. Sadar diri bahwa Hee Sae pantas memperlakukannya bahkan lebih dari ini. Sementara Wendy menatap Hee Sae nyalang merasa tak terima. Buru-buru ia mengeringkan wajah Byan dengan beberapa lembar tisu kering.

𝐃𝐫𝐚𝐦𝐚𝐭𝐢𝐜 𝐈𝐫𝐨𝐧𝐲 ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang