16. Dramatic Irony

2.1K 459 201
                                    

"Kris, kau tidak perlu bertindak seposesif itu! Dia hanya calon relasiku!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kris, kau tidak perlu bertindak seposesif itu! Dia hanya calon relasiku!"

Hee Sae setengah membentak Kris meski ia bersumpah tak bermaksud demikian. Hanya saja situasi menuntutnya untuk mencegah keinginan Kris. Bisa gila bila Byan berkata yang macam-macam alih-alih membicarakan pekerjaan. Kedua tangan Hee Sae terus terkepal kuat tanpa sadar. Membuat Kris semakin curiga dengan tingkah Hee Sae yang berlebihan. Logisnya, bila benar tidak apa-apa, Hee Sae tidak perlu sepanik ini.

Sementara dering ponselnya belum berhenti, membuat Hee Sae ingin mengumpat kapan saja andai Kris tidak berdiri di hadapannya. Byan benar-benar selalu menempatkannya pada kondisi sulit.

Terdengar helaan nafas berat dari dua belah bibir Kris. Sepertinya ia memang harus mengalah sekarang. Terlebih ada Anna di ruangan ini. Kris tak ingin menghancurkan kebahagiaan Anna yang baru saja bertemu ibu kandungnya karena melihat mereka berdua berdebat sengit.

"Baiklah, kau bisa mengangkat panggilannya," tukas Kris kemudian beranjak dari sofa dengan wajah teramat kecewa. Ia sengaja menjauh seolah memberi privasi pada Hee Sae. Padahal Kris tetap mengawasi meski menjaga jarak. Sebisa mungkin ia berdiri tak jauh dari Hee Sae agar rungunya sedikit banyak bisa mendengar konversasi yang Hee Sae lakukan dengan lawan bicaranya.

"Halo?" sapa Hee Sae terdengar senormal mungkin. Berbanding terbalik dengan wajahnya yang cemas. Ia harap Byan tidak sedang mencoba membuat ulah dengannya kali ini. Hee Sae benar-benar tidak ada waktu untuk meladeninya sekarang.

"Bajumu tertinggal di mobilku. Aku masih di depan kantormu," sahut Byan to the point. Nada bicaranya terdengar begitu tenang. Namun urung membuat Hee Sae lega.

"Kau bisa membuangnya," tukas Hee Sae cepat. Sebisa mungkin mempersingkat panggilan yang terjadi di antara mereka.

"Aku yang mengantarnya ke ruanganmu atau kau yang menemuiku di lobi?" Byan tidak menggubris jawaban Hee Sae barusan. Justru memberi dua opsi yang sama-sama menyulitkan Hee Sae.

"Sudah kubilang kau bisa membuangnya." Hee Sae bersikeras.

"Baiklah, aku yang akan ke atas menuju ruanganmu," jawab Byan seringan kapas. Tak tahu bahwa lawan bicaranya semakin berkeringat dingin. Kedua kelereng hitam Hee Sae bergerak ke sana kemari gelisah. Pegangannya pada ponsel mengerat menandakan lonjakan kepanikan. Sementara Kris kelihatannya memunggunginya, justru diam-diam sedang mengamati perubahan mimik yang Hee Sae tunjukan melalui pantulan kaca jendela.

Kris sungguh penasaran setengah mati dengan sosok Byan Son sebenarnya. Mulai berasumsi bahwa Byan Son adalah dalang perubahan sikap Hee Sae beberapa waktu terakhir.

"Iya-iya! Aku yang akan menemuimu sekarang juga. Kau puas?"

Hee Sae menutup panggilannya secara sepihak. Terkesan kasar dan tak sopan memang tapi Hee Sae memasa bodohkan semua itu bila Byan Son yang menjadi lawannya. Lelaki itu selalu memiliki cara membuat Hee Sae menuruti keinginannya seperti saat ini. Lama kelamaan Hee Sae betulan muak pada sikapnya yang tak pernah berubah meski sepuluh tahun telah berlalu. Baik Byan Son ataupun Baekhyun, tetap saja sifat arogan setia melekat padanya.

𝐃𝐫𝐚𝐦𝐚𝐭𝐢𝐜 𝐈𝐫𝐨𝐧𝐲 ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang