1.

21 2 6
                                    

Sebuah amplop merah muda berhasil kuselipkan di celah loker paling atas itu, klise. Andai loker itu bisa dibuka, mungkin aku sudah meletakkan bunga mawar atau boneka mungkin?

Belum terlalu lama sebenarnya, ia berhasil melepaskan ribuan kupu-kupu setiap mata kita bertemu. Tinggi, tampan, pintar, dan selalu bermain di lapangan tiap pulang sekolah sambil menebar senyuman, yang tentu saja membuat seluruh gadis di sekolah menyempatkan diri untuk sekadar melewati lapangan sebelum pulang.

Aku sebenarnya bukan seseorang yang bisa mengatakan, "aku bukan siapa-siapa", ketika ada yang menyuruhku mengungkapkan perasaan itu. Dia sudah setahun jadi bagian dari hampir setiap malamku, sekadar bercerita mungkin juga berbagi keluh kesah. Kupikir, kini saatnya kita berbagi perasaan, itupun jika ia juga memilikinya.

Kini aku bersembunyi di salah satu koridor, menunggunya membuka loker dan melihat responnya. Jantungku sudah berlari terlebih dahulu dan kerja otakku melambat ketika mata kita bertemu tepat setelah isi amplop selesai ia baca.

Langkah kakiku terlalu nyaring untuk tidak ia dengarkan. Berlari menuruni tangga keluar sekolah dengan pipi yang panas, sedangkan tanganku seperti baru saja menggenggam es batu yang meleleh di sana.

Bruk.

Ya, aku merutuki diriku dan kecerobohan yang tak pernah hilang sejak aku kecil. Otakku kali ini mencernanya sebagai kejadian jatuh paling memalukan ketika sebuah tangan terulur di depanku.

"Kalau cinta, cinta aja. Gausah pake jatuh segala", kata terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya ia menjadi bagian dari pagi dan malamku.

Lasak.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang