Ya, langkah kaki terakhirku sampai di depan gerbang bersamaan dengan dua besi pengaitnya diturunkan oleh petugas kedisiplinan. Aku datang tepat saat bel berdering, sepertinya petugas disiplin kali ini perlu stretching sedikit.
"Gitu, ya. Sama temen jahat banget. Coba adek kelas cantik pasti ditungguin masuk ga buru-buru ditutupin gerbang", kataku sambil masih mencoba mengatur nafas.
"Itu tujuannya punya temen. Saling mengingatkan. Harusnya kamu bersyukur punya temen kayak aku". "Oh, jadi, temen?", balasku sambil tersenyum dan mencari tempat berteduh sampai gerbang kembali terbuka.
Tak lama, seorang laki-laki, yang hampir setiap kali aku ada di sini ia juga bernasib sama denganku, berhenti dan mengambil sesuatu dari tasnya.
"Kebiasaan nggak bawa minum ke sekolah", sebotol air mineral sampai ke depan mataku dan langsung membasahi tenggorokanku. "Untung punya temen yang setia telat bareng", kataku sambil mengembalikan botolnya. "Iya, temen. Sama-sama", ia tertawa kecil lalu mendekati gerbang dan berbincang dengan beberapa laki-laki lain.
Pagiku cukup buruk kali ini. Sebenarnya, terlambat bukan hal yang baru untukku. Setidaknya sekali dalam seminggu aku harus menunggu di luar gerbang seperti kali ini. Hanya saja, harusnya aku hari ini tidak bertemu dengannya setelah sebuah kebodohan yang kusampaikan lewat pesan tadi malam.
Terimakasih kepada diriku sendiri yang berhasil bersikap biasa saja di depannya setelah kejadian yang ditutupi "tanya doang" semalam. Sebenarnya, aku. Sangat. Malu. Semoga ia tak menganggapnya seserius itu. Atau mungkin tidak, setelah permainan kata teman yang kita tekankan satu sama lain.
Baiklah, gerbang sudah terbuka. Sekarang hanya perlu menuju kelas, duduk dengan tenang, dan berinteraksi dengan laki-laki itu seperlunya.
"Temen hidup juga temen, kok", sebuah tangan mendarat di gagang pintu yang sedang kugenggam.
Krek. Krieet.
Ia tersenyum, pintu kelas terbuka. Lalu ia dan laki-laki di sampingnya berjalan mendahuluiku. Sepertinya rencanaku hari ini gagal.