Harapan

29 2 0
                                    

Apa yang saya miliki?

Bakat? Kemampuan?

Kecantikan? Kepintaran?

Keterampilan? Kekuatan?

Sepertinya....

tidak.

Tapi tunggu dulu.

Saya punya sesuatu.

Hati? Perasaan? Harapan?

Tinggal itu yang ada dalam diri ini.

Seperti biasa Jenna duduk di tempat duduknya. Yep, tidak ada yang tidak biasa, tidak ada lelaki yang menghampiri, tak ada pengumuman kemenangan. Entah, hanya suara tertawa orang-orang dan suara guruh dari luar. Jenna bosan. Jenna lelah. Jenna ingin pulang saja. Jenna merasa ini semua tidak berguna. Jenna menghela nafas panjang. 

Guru pelajaran alam itu pun terburu-buru masuk. Jenna berdiri bersungut-sungut, memberi salam tidak ikhlas. Semua duduk. Jenna kembali ke dunianya. Melamun, menulis potongan-potongan lirik, menggambar, mengantuk. Saat anak-anak lain penasaran melihat nilai, Jenna... membaringkan kepala. Apa yang ia harapkan? Tidak ada. Nilai bagus? Diminta lebih bagus lagi. Nilai jelek? Diberi segentong omelan mama. Semuanya biasa saja. Jenna sudah bosan berharap. Sudah lelah Jenna berharap jadi karakter utama yang mendapatkan pasangannya dan berbahagia, lelah berharap memiliki sebuah orisinalitas, lelah berharap memiliki kekuatan super, lelah berharap memiliki nilai. 

Temannya mencoba menyadarkannya. Tapi tidak bisa. Sudahlah taruh di mejanya saja. 

Jenna bangun dan melihat kertasnya. Tertera angka 88 diatasnya. Ia menyimpan kertas itu di mapnya dan kembali ke posisinya. Pelajaran pun berlalu.

Jam istirahat. Dengan dalil menemui Rana temannya, ia masuk ke kelas 12-4. Ia membawa bekal susu dan rotinya. Ia mengambil sebuah kursi dan meletakkannya di posisi strategis untuk melihatnya, satu-satunya yang Ia harapkan. Tanpa sadar tujuan aslinya untuk mengisi perut tertumpas oleh pemandangan yang berhasil membuatnya tertegun cukup lama.

Gelak tawa terdengar seketika di telinga Jenna.

"Apa?!" Tanyanya marah.

"dasar bucin cringe." Rana menghentikan gelak tawanya.

"Cih. Siapa ya yang nitip coklat buat Ed pas Valentine?"

"Siapa ya yang dari tadi ngeliatin pengamen kelas?"

Percakapan itu dihentikan mendadak. Yep. mendadak.

"Yo, Jenn, kelas kalian ngecek pre-test bio kelas 12-4 kan?" Itu si Benedict, pengamen kelas 12-4.

"Iya, napa? Tenang, nilai anda bagus k-k-- Achooo!" Kehancuran efek keren, kehancuran harga diri.

"Nilai lu bagus." Jenna memberikan jempol sembari mengelap hidungnya yang menderita.

"Oh, baguslah." Ben pergi sambil memikul gitarnya.

Momen kecil itu anehnya sanggup membuat Jenna tertawa. Sanggup membuatnya tersenyum dan melanjutkan pelajarannya dengan sesuatu,

Harapan.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang