Bangun lagi, bernafas lagi, hidup lagi.
Apa rencana selanjutnya?
Jenna bangun dari tempat tidurnya. Ia kembali melakukan segala pekerjaan rumah yang merupakan kewajibannya, lagi.
Setelah semua keharusan itu diselesaikan, gadis itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia melihat pantulan dirinya di kaca. Memang tidak sempurna, memang tidak cantik, memang tidak menarik, tapi apa lagi yang dapat dilakukan? Nikmati saja. Ia mengusap-usap wajahnya, tersenyum pada dirinya sendiri.
Aku percaya ini hidup terbaik yang dapat ku hidupi
Aku percaya semua ada indahnya
Di titik terendahku sekalipun.
Bahkan ketika semua dunia mencemooh,
Masih ada hari esok.
Hidup satu hari lagi
satu jam lagi
satu detik lagi.
Satu senyuman lagi.
Seselesai membersihkan diri, Jenna melangkah turun ke arah meja makan. Dan semuanya berjalan seperti biasa. mobil, lobi, kelas. lagi.
Ia menaruh tasnya di tempat duduknya dan melangkah untuk berjalan-jalan. Ia melewati lapangan dan sesuatu mendarat di kepalanya. Jenna jarang memperlihatkan kesakitannya, jadi dia hanya terdiam dang mengambil sesuatu itu yang tidak lain adalah bola basket. Ia melemparnya kembali seseorang dari para anak yang bermain meminta maaf pada Jenna, Ben.
"Maaf ya teman-teman bodoh ini salah arah saat melempar." Benedict berbalik melihat teman-temannya yang terlihat bingung.
"Gapapa, udah sering kok." Jenna bergumam
"Hah?" Benedict tidak mendengarnya
"Ekhm, maksudku, tidak apa, gak sakit kok." Jenna tersenyum getir dan berjalan pergi.
Apa yang aku lakukan?? Tidak seharusnya aku mengatakan itu. Bagaimana kalau aku dianggap aneh? Lalu teman-temannya juga akan menganggapku aneh, lalu semua orang akan jijik padaku seperti dulu lagi, lalu, lalu..
Sebuah tangan menepuk bahu Jenna membuatnya terkejut dalam diam. Jenna berbalik dengan muka yang sangat depresi.
"Anda kenapa?" Itu Enrico atau biasa Jenna panggil Rokok, ganyabung kan? Iya.
"Eh Rokok. Ngapain disini?" Jenna terbawa lagi ke kenyataan.
"Tadinya sih mau main, tapi ngeliat lu disini w penasaran. Napa lu? Klo ada yang salah cerita aja." Enrico menangkap bola yang hampir mengenai kepala Jenna, lagi.
"Eh, Nice save teman." Jenna melihat bola itu.
"Power Forward HF dilawan." Enrico tersenyum meremehkan.
"Eh eh, w kan juga PF!!" Jenna menyipitkan matanya.
"PF kok pendek.. Easy posterize lah..." Enrico megang kepala Jenna seakan Jenna anaknya.
"Tapi-" Pembicaraan tersebut dipotong oleh bel masuk yang sudah berbunyi.
Jenna dan Enrico berjalan- hmm, berlari lebih tepatnya ke ruang kelas.
"Oi, Pak Alan dalam radius dekat!! Lareh!!" Jenna berteriak dan menambah kecepatan.
Sebelum guru pengetahuan sosial itu sempat melangkahkan kaki ke dalam kelas, dua murid melintas dengan kecepatan kilat, hampir membuatnya sakit jantung.
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Jenna kembali terbangun karena gurunya menegornya. Ia kembali mengangkat kepala, meminta maaf dan tertawa kecil.
Ia membuka bukunya dan menggambar sesuatu atau seseorang ?
Dengan teliti Jenna menggambar wajah dan rambutnya. Sepertinya ia mulai mencapai sebuah bentuk. Akhirnya ia meletakkan pensilnya dan melihat tuangan imajinasinya, indah. Wajah familiar itu memandang ke samping, membuat Jenna semakin jatuh cinta.••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
"Jen! Jen!" Sebuah suara memanggil Jenna menoleh kearah suara itu.
"Hm?" Jawab Jenna pada lelaki bernama Narendra itu.
"Gaada fotografi hari ini. Pulang bareng yok!" Ucap Narendra bersemangat sambil berjalan kearah Jenna.
"Yok!" Jenna membalas.
"Loh, supirmu gak jemput?" Tanya Narendra
"Mobil ku mogok tadi siang, makanya aku disuruh pake angkot.. Kalau ada teman kan lebih asik!" Jenna tersenyum.
"Ooh.. yaudah.. yok!" Kata Narendra.
Kalau kupikir-pikir,
Hidup seperti ini...
Bahagia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Fiksi RemajaDimana arah yang harus dituju? Ia tersesat, jiwanya terkunci, teriakan terdengar dari hatinya. Ini bukan rumah, ini bukan apa yang disebut tempat yang aman. Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Sepi Se...