Pertama.

234 30 1
                                    

Bandung, 23 Mei 2019.

Awan menyelimuti sang langit hingga warna kehidupan langit tak terlihat, sang mentari enggan memunculkan senyumnya seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin Mentari mengerti perasaanku saat ini, sulit sekali bagiku untuk tersenyum hari ini. Entah sudah berapa makhluk yang aku semburkan sumpah serapah hingga beberapa dari mereka menjauh. 

Aku Adinda Senja Chandrabha, seorang anak gadis yang menyukai segala hal sendu, seperti hujan dan... Kamu contohnya? Dalam hidupku aku hanya terpaku dengan rintik hujan yang entah mengapa selalu membawa rindu, dan segala nilai kehidupan hampa dan monoton yang tidak ku ketahui sampai kapan itu berubah menjadi pelangi.

 Saat ini aku berada dikelas hanya ditemani oleh kursi dan meja, tak seperti hari-hari biasanya yang dipenuhi gelak tawa dan senyuman selalu terukir diwajahku. Saat ini hanya tersisa wajah murung yang seolah dunia sudah berakhir. Mungkin jika penyakit bisa dibilang aku sedang mengalami penyakit rindu mendalam.

"Dek, lo kenapa sih? asem banget muka lo kaya lemon." Pria tinggi, yang mencintai basket daripada mencintai dirinya sendiri. Sang pujaan hati banyak wanita di sekolahku karna sikapnya yang manis dan wajah tampannya. Akhas Balaaditya Hamsah, kakak kelasku sekaligus kakak kandungku.

"Gue gapapa kak,santai aja laah." Ucapku, entah sudah berapa banyak dosa dengan catatan kebohongan mengatakan bahwa diriku tak apa saat ini. Mungkin aku bisa dengan mudah memasuki dunia penuh api dengan jalur prestasi karna dosaku hari ini.

"Yakin lo? Ga lagi dilanda rindu lebay lo itu kan?" Ucapnya tertawa, aku hanya menyunggingkan senyum tipis dan berkata "Mungkin?"

Ah, mungkin kalian bingung sebenarnya aku sedang rindu dengan siapa. Merindukan kekasih orang lain yang jelas sudah menyakiti ku entah berapa kali, Arka. 

Setelah berbincang dengan kakak ku tentang mengapa aku murung saat ini aku pergi meninggalkan tempat yang menjadi saksi bisu ketika aku menundukan kepala dan perlahan mengeluarkan air mata yang sudah ku tahan sejak lama. 

Berjalan perlahan menysuri seisi sekolah, tak peduli dengan tatapan aneh para murid karna berjalan bak mayat, kulit pucat, wajah tanpa senyuman cerah, menunduk tanpa takut menabrak sesuatu. Itu keadaaanku saat ini.

Aku hanya diam dan memperhatikan lapangan yang sudah ditinggalkan para murid untuk kembali ke kelas mereka karna memang jam pelajaran berikutnya sudah dimulai. Saat ini sepertinya alam semesta sedang berpihak kepadaku, Awan selalu menutupi senyum sang Mentari. Dan sekarang menumpahkan tangisnya karena merindukan sang Bintang.

"Hai, sendirian aja?" Aku hanya melirik kearah selatan dan mendapati seorang laki-laki Tinggi, berkulit putih dan berambut hitam pekat sedang tersenyum dengan manis ke arahku.

"Iya nih, Lo siapa ya?" Aku tak pernah mau mengeluarkan sepatah kata sebelum aku mengetahui nama seseorang. "kenalin, gue Fajar Putra Dirgantara. Lo bisa panggil gue Fajar atau sayang juga gapapa." Lelaki ini mengulurkan tangannya berharap aku membalas dan berjabat tangan.

"Ooh, gue Adinda Senja Chandrabha." Ucapku tak acuh oleh tangan putih yang ia ulurkan kepadaku. "Lo lagi apa disini?" Tanya nya dan duduk disebelahku.

"Liatin hujan, lo sendiri ngapain tiba-tiba nyamperin gue?" Tanyaku penasaran. "kenapa ya? Karna lo cantik mungkin?" Jawabnya sambil tersenyum hingga matanya menyipit.

"Basi banget gombalan lo." Kataku menanggapi jawabannya itu. "Lo kenapa diluar nja?" Tanya nya, "Gabut, di kelas ga ada guru." Jawabku singkat yang hanya dibalas anggukan kecil olehnya.

Aku berpikir sudah cukup menenangkan hati serta otakku yang tak keruan ini, saatnya aku kembali ke kelas untuk membagikan senyuman seperti biasanya.

Langit Jingga ㅡ Na Jaemin, Lee Nakyung.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang