PT (1)

116 55 57
                                    

Pagi ini, gadis berambut hitam panjang dengan kaca mata yang selalu melengkapi wajahnya itu berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih nampak sepi. Dilihat dari name tag di rompi seragamnya, namanya adalah Nesya Thalita. Kini ia memegang beberapa buku di tangan kirinya.

Nesya, gadis dengan tinggi seratus tujuh puluh tiga sentimeter itu merupakan murid kelas unggulan di SMA Abdi Negara.

Cantik? Jelas.
Kutu buku? Jelas.
Cerewet? Jelas.
Famous? Tidak. Sama sekali tidak.

Nesya gadis cuek dengan beribu kecerdasan yang ada dalam otaknya. Bersahabat dengan Xenia Reytifa tidak membuatnya tertular virus malas Xenia. Ia bahkan masih sempat menyemangati Xenia dengan beribu kata motivasi padahal sudah jelas hasilnya akan sama, Xenia tidak berubah.

Okey. Back to the topic.

"Nesya," panggil gadis berambut sebahu dari belakang Nesya. Nesya menoleh, dilihatnya sahabatnya, Xenia, berlari kecil mendekatinya. "Homework portofolio tentang fungi punya lo sudah selesai kan. Pasti sudah. Gue pinjem, boleh ya?" Ini kebiasaan Xenia di pagi hari. Ingin meminjam tugas Nesya untuk disalin. "Hmm, kebiasaan," gerutu Nesya sambil melirik Xenia sinis.

"Gini deh, gue beliin lo nasi goreng seporsi sama es teh segelas di kantin," rayu Xenia dengan mata berbinar. "Ck, ini nih, sekarang ngerayu," ucapnya kesal. "Gini ya Xenia, apa salahnya sih lo coba untuk rajin. Orang sukses berawal dari rajin dan tekun," lanjut Nesya, yang seperti biasa selalu mengeluarkan kata-kata mutiaranya. Xenia hanya menyengir, benar juga apa yang dikatan Nesya.

"Nesya," panggil seorang wanita paruh baya dari belakang Xenia, bu Yuli, wali kelas Nesya juga Xenia. "Kamu ke ruang guru ya, saya tunggu." Belum sempat menjawab, bu Yuli sudah berlalu dengan tumpukkan map di kedua tangannya.

Nesya membuka tasnya lalu mengeluarkan selembar kertas penuh tulisan. "Ini tugasnya, jangan sampai hilang!" ujarnya memberikan kertas itu pada Xenia lalu berlari menuju ruang guru. "Thank you my best Nesya," teriak Xenia kegirangan.

* * *

"Permisi Bu, ada apa ya?" tanya Nesya sembari duduk di hadapan bu Yuli. "Begini Nes, pihak sekolah sudah kesusahan untuk mencarikan guru private untuk Ezra. Mamanya juga sudah banyak mengeluh, bahkan beliau sampai frustasi." Nesya mendengarkan dengan seksama sembari mengangguk-angguk paham. "Kamu bisa bantu nggak buat jadi private teacher Ezra? Hitung-hitung, kamu kan butuh uang untuk biaya pengobatan ibu kamu," tawar bu Yuli.

"Hm, gimana ya Bu? Takutnya saya nggak ada waktu buat jagain ibu saya," sahut Nesya masih bimbang. "Gini deh, kamu ngajarin si Ezra sore pulang sekolah saja. Jadi malamnya, kamu masih bisa jagain ibu kamu. Nanti soal upahnya, mamanya Ezra sendiri yang ngatur," ujar bu Yuli. Mimik wajahnya masih mengharapkan persetujuan dari Nesya.

"Ya sudah bu, saya terima. Saya juga beneran butuh uang buat pengobatan ibu saya," ucap Nesya mengambil keputusan. Bu Yuli mengulas senyumnya. "Terima kasih ya. Kalau gitu kamu bisa ke kelas, bel masuk sebentar lagi berbunyi. Nanti pulang sekolah temui saya di kelas ya," ujar bu Yuli lalu Nesya mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi dulu ya bu," pamit Nesya lalu diangguki bu Yuli.

Ibu Nesya menderita leukimia. Mau tidak mau, Nesya harus bekerja untuk biaya pengobatan ibunya. Selama dua tahun ini, ia berusaha merilis usaha, SuNes Burger. Nesya berjualan burger setiap hari Minggu di pasar dekat rumahnya. Setelah kepergian ayahnya akibat kecelakaan, ia hanya tinggal berdua dengan ibunya.

* * *

"Kenapa wajah lo bingung gitu?" tanya Xenia setelah Nesya sudah duduk di sampingnya. Mereka teman sebangku. "Lo tau kan, omset jualan burger gue nggak cukup buat pengobatan ibu." Xenia mengangguk paham.

"Kan udah gue bilang dari jaman kawak, lo mendingan kerja di kafe atau restaurant aja. Lo kan juga tau, gue nggak bisa bantu. Uang saku aja gue irit-irit," ujar Xenia sembari menyalin tulisan Nesya. "Gue ditawarin kerja jadi guru private si Ezra, terus gue terima deh," jelas Nesya. Xenia menganga, ia menatap Nesya terkejut. "Apa lo bilang? Lo mau jadi gurunya si preman sekolah?!" sahut Xenia panik. "Hm iya," sahut Nesya masih ragu.
Tiba-tiba, 'breeeeek....'

Meja mereka digebrak oleh seseorang. "Ngapain lo nyebut preman sekolah?" tanya cowok itu, Ezra Cornelius Aditama. "Eh..eh.. Ezra, ap-apa kabar?" tanya Xenia ragu. Mati. Itu saja yang ada dalam pikiran Xenia.

"I'm fine. Jawab pertanyaan gue! Ngapain nyebut-nyebut preman sekolah?" sahut Ezra santai, lalu bertanya sekali lagi. "A-anuu-"

"Selamat pagi."

Belum sempat Xenia menjawab, bu Yuli datang. Xenia dan Nesya menghembus nafas kesal. "Anu Zra, Bu Yuli sudah dateng tuh," lanjut Xenia dengan cengiran, membuat Ezra menuju tempat duduknya.

"Tuh kan Nes, bahaya." Xenia memperingatkan Nesya kembali. Dan wajah Nesya masih sama, ragu-ragu.

"Baik, kumpulkan tugas saya!" Suara bu Yuli memerintah.

Ezra Cornelius Aditama, dikenal sebagai preman sekolah. Sebenarnya sikapnya tak pemalak bagai preman, hanya saja menyeramkan. Apalagi tatapannya bagai menusuk. Tidak ada satu pun siswa dan siswi di sana yang berani mendekat atau berteman dengan Ezra. Nesya saja yang nekad menerima tawaran dari bu Yuli untuk menjadi guru private Ezra.

Ezra menyukai balap liar, jarang pulang, jarang mengerjakan tugas sekolah, sering bolos, lalu dua lagi, dia suka minum minuman beralkohol dan perokok.

Semua itu ada alasannya.

Broken home. Papa dan mama Ezra cerai. Papanya memilih menikah lagi. Mama Ezra yang terbilang jarang ada di rumah karena sibuk bekerja. Itu sudah berlangsung sejak ia berusia enam tahun. Ia merasa kurang kasih sayang.












Ok, part 1 sampai sini dulu ya.
Jangan lupa buat klik bintang di pojok kiri bawah! That's my spirit:))
Makasih udah votes, ILY readers!❤

Private Teacher [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang