PT (6)

46 35 17
                                    

"Baiklah, kalian bisa mengerjakan soal ulangan mulai dari sekarang. Pastikan jangan ada yang mencotek apalagi menganggu teman. Paham?"

"Paham bu."

Suasana di kelas yang semula ramai bak pasar mendadak mencengkeram bagai rumah hantu. Pasalnya hari ini guru Matematika yang terkenal judes, memberi hukuman kepada kelas XII IPA-B berupa ulangan Matematika dadakan karena ribut saat penjelasan soal.

"Tau gini tadi gue anteng kayak patung. Ini mah lebih serem daripada ketemu nenek ember," gerutu Xenia menyesal. Selanjutnya ia hanya memainkan bolpoin merah muda di tangannya sembari memandangi Nesya yang mengerjakan dengan raut wajah santai.

"Nes," panggil Xenia. Kini metode berbisik yang ia pakai. "Hm?" jawab Nesya santai, tanpa memalingkan pandangannya dari kertas ulangan.

"Lo nggak ada satu beban gitu buat ngerjain soal setan ini, apa lo punya empat otak?" tanya Xenia dengan konyolnya dan tiba-tiba, "brak...."

"Xenia," bentak guru Matematika itu, bu Aori. "Eh ada Bu Aori. Ada apa ya Bu? Angin di luar sejuk loh Bu. Enak tau kalau Ibu nikmati semilir angin di dekat pintu. Daripada Ibu Aori di sini," celoteh Xenia panjang lebar, yang kini ia rasakan hanya gugup.

"Jangan banyak bicara! Kerjakan soal di ruang kepala sekolah. Sekarang!"

Deg. Entah bencana malang apa yang menimpa Xenia. Kini yang hatinya mau adalah menjambak wanita gemuk di hadapannya itu. "I-iya Bu. Maaf, saya permisi." Xenia berjalan keluar ke arah ruang guru.

Sedangkan Nesya, dirinya bahkan sama sekali tak menggubris. Ia tetap fokus pada soal ulangannya. Padahal, peristiwa tadi adalah kesempatan untuk siswa yang lain mencontek karena bu Aori terfokus pada Xenia.

* * *

"Lo gila ya Nes, sahabat lo diomelin sama beruang malah lo diem aja," gerutu Xenia kesal. Padahal Nesya baru saja duduk di hadapan Xenia yang sedang mengaduk-aduk es teh. "Beruang apa? Makanya, nurutin guru," sahut Nesya masih kalem.

"Ck, emang ya, sahabatan sama manusia setelah kayu itu beda," oceh Xenia, lalu menatap Nesya tajam. "Beruang itu Bu Aori. Kapan sih peka?"

Nesya terkekeh pelan. "Oh," ucapnya singkat menanggapi Xenia yang telah mengoceh panjang lebar.

"Oh iya, ngomong-ngomong ini uang nasi kemarin gue balikin," kata Nesya sambil menyodorkan selembar uang dua puluh ribu ke Xenia. "Nggak perlu, gue ikhlas," tolak Xenia. "Tabung duitnya, buat biayai nyokap lo."

"Thank you, lo banyak bantuin gue selama ini," ucap Nesya canggung. "It's okay. You're my best friend, Nesya."

"Emangnya lo semalem pergi ke mana?" tanya Xenia mulai kepo. "Jadi gini..."

Setelah sepuluh menit Nesya bercerita tanpa jeda dan Xenia sampai melongo mendengarkan dengan seksama. Akhirnya Nesya selesai bercerita.

"Wah, baik ya ternyata. Tapi sama aja, warning!" ucap Xenia menanggapi. "Selama gue ketiduran di sana dan itu sampai malem, gue nggak lihat nyokapnya sama sekali, ya cuma asisten rumah tangga yang segudang aja."  Nesya menjelaskan lagi.

"Gimana ya Nes? Sebenernya coba deh, lo cari sisi positif bocah berandalan itu," usul Xenia tiba-tiba. "Gue punya feeling dia ada masalah keluarga deh. Buktinya kalau sama lo bisa baik. Ngapain di sekolah kayak preman belum dikasih gaji empat bulan?" lanjutnya sambil berpikir.

"Aneh lo. Tadi aja bilang jauhin Ezra ya Nes, bahaya, preman, segala macem lah," sindir Nesya kesal. Xenia tertawa pelan. "Gue berubah pikiran deh. Kita harus cari tau!" ajak Xenia.

"Caranya gimana?" tanya Nesya setelah meneguk es cincao yang sedari tadi ia anggurkan. "Lo harus niat jadi guru dia dan lo kupas sedikit demi sedikit."

* * *

Ini sudah lewat jam pulang sekolah. Tetapi Nesya masih berada di toilet siswi untuk membasuh wajahnya setelah membaca empat buku di perpustakaan.

"Nanti enaknya ke rumah Ezra nggak ya, ntar kalau di sana gue dikira ngarep lagi. Susah," pikirnya sembari mengelap wajahnya dengan tissue.

Xenia sudah pulang terlebih dahulu karena ia harus pergi membeli tiket liburan ke Thailand, Korea, dan Jepang untuk mengisi liburan semester ganjil. Kata Xenia, ia akan pergi bersama papanya saja.

Akhirnya, setelah memasukan barang-barangnya kembali ke dalam tas, Nesya melangkah keluar dari toilet. Ia berniat untuk langsung pulang karena ia cukup lelah hari ini. Ditambah hari ini adalah penilaian atletik.

"Huek, huek."

Saat Nesya berjalan di area parkiran, ia melihat Ezra yang tengah memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Ia langsung bergegas ke arah Ezra yang berjongkok di dekat selokan. "Astaga, lo kenapa?" tanya Nesya panik lalu ikut berjongkok.

"Nggak, gue baik-baik aja," sahut Ezra dengan suara serak. Wajahnya tampak pucat. "Lo habis makan apa bisa muntah?" tanya Nesya sembari mengeluarkan selembar tissue dari tasnya.

"Baik-baik aja gimana? Orang lo pucet kayak mayat," ucap Nesya serius sembari mengelap sekitaran mulut Ezra. "Gue nggak makan dari semalem." Akhirnya Ezra menjawab. Namun kali ini, ia menjawab dengan menatap kedua mata Nesya.

"Hah? Bisa-bisanya lo beliin gue makanan, sedangkan lo nggak makan," omel Nesya masih panik. "Udah lo pulang. Makasih udah sok perhatian," kata Ezra lalu tersenyum kecut. "Sok perhatian gimana? Gue beneran panik, gue pikir lo bakalan mati pucet di sini," sahut Nesya tanpa perasaan.

"Kalau udah cantik, mulut juga dijaga Nesya. Ya masa gue mati cuma gara-gara nggak makan. Hati ditusuk tiap hari aja gue masih betah hidup."

Jleb. Kata-kata itu? Kata-kata itu apa benar keluar dari mulut Ezra? Oh, yang benar saja.

"Udah ah, ayo gue bantuin berdiri. Gue bayarin makan di kantin," ucap Nesya setelah membuyarkan pikirannya.

Setelah itu Nesya membantu Ezra untuk berdiri, lalu keduanya berjalan ke arah kantin sekolah. Kantin sekolah akan buka sampai jam lima sore karena masih ada kegiatan sampai sore.















Halo....
I'm back!
Terima kasih buat kritik dan saran kalian di part-part sebelumnya. Sangat berguna.
Semoga part ini kalian suka.
Jangan lupa tinggalkan jejak!!!

Private Teacher [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang